The Shattered Light-Chapter 17: – Bara di Antara Kita

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 17 - – Bara di Antara Kita

Pagi yang dingin menyambut kelompok Kaelen. Sisa-sisa desa yang hancur masih meninggalkan bau anyir darah dan abu yang menyengat. Mereka memutuskan untuk beristirahat di tepi hutan, cukup jauh dari puing-puing desa, untuk menghindari kemungkinan patroli Ordo Cahaya kembali.

Varrok duduk bersandar pada pohon, meraba perbannya. Wajahnya tegar, tetapi Kaelen tahu luka itu lebih dalam dari yang terlihat. Darek berjaga di pinggiran, sesekali memutar kapaknya untuk memastikan keseimbangan. Aria dan Kael duduk berdempetan, saling menguatkan.

Di antara mereka, Kaelen, Lyra, dan Serina duduk dalam keheningan yang tegang. Kaelen sesekali melirik Lyra, yang tampak sibuk memandang jemarinya sendiri, seakan mencoba mengalihkan pikirannya. Serina duduk dengan tangan terlipat di dada, pandangannya menerawang ke arah hutan, namun ekor matanya sesekali menangkap kedekatan Kaelen dan Lyra. Udara di antara mereka terasa berat, seakan ada sesuatu yang tak terucap, dan setiap gerakan kecil seperti batuk pelan atau helaan napas terdengar lebih keras dari seharusnya. Ada banyak yang ingin dikatakan, tetapi lidah mereka seakan terkunci oleh kelelahan dan rasa waspada.

Kaelen akhirnya membuka suara. "Apa langkah kita selanjutnya, Pak Tua?"

Varrok menghela napas. "Kita menuju barat laut, lebih dalam ke wilayah Bayangan Malam dulu. Ada pos persembunyian lama di sana. Jika masih berdiri, kita bisa berkumpul dengan yang lain."

Lyra tampak lega. "Apa mungkin ada yang selamat?"

Varrok menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Harapan selalu ada. Dan kita harus tetap hidup demi itu."

Kaelen menatap Lyra. Ada ketenangan di matanya, namun Kaelen bisa merasakan ketakutan itu masih mengendap. Di sisi lain, Serina mengamati interaksi mereka dengan pandangan sulit ditebak. Perasaan asing yang mulai menguasai hatinya membuatnya resah.

Saat matahari mulai naik, mereka bergerak kembali. Hutan semakin rapat. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara di atas tanah lembab. Namun, setiap kerikan ranting atau suara angin membuat mereka selalu siaga.

The most uptodat𝓮 n𝒐vels are published on freёnovelkiss.com.

Kaelen berjalan di samping Lyra. Mereka berbicara pelan, lebih seperti mencari penghiburan di tengah ketidakpastian.

"Kau kuat," bisik Lyra.

Kaelen tersenyum kecil. "Aku hanya berusaha bertahan."

Lyra menunduk. "Aku ingin sekuat itu."

Kaelen berhenti sejenak, menatapnya. "Kau lebih kuat dari yang kau kira, Lyra. Aku melihat itu setiap hari."

Lyra tersipu, tapi sorot matanya bergetar oleh emosi yang tertahan. Serina yang berjalan tak jauh di belakang mereka, mengeratkan genggaman pada busurnya. Perasaan cemburu mulai membakar hatinya, meski ia berusaha menekannya.

Di tengah perjalanan, Varrok memberi isyarat berhenti. Mereka semua merunduk.

"Lihat itu," bisik Varrok.

Di kejauhan, tampak beberapa prajurit Ordo Cahaya bergerak di antara pepohonan. Mereka tampak mencari sesuatu—atau seseorang. Wajah-wajah dingin di balik helm baja mereka mengingatkan Kaelen pada malam desanya dibakar. Dendam itu menyala kembali di dadanya.

"Kita harus menghindari mereka," kata Varrok.

Kaelen mengangguk, meski di dalam dirinya ada suara yang mendesak untuk menyerang. Ia merasakan desakan itu merambat ke seluruh tubuhnya—jantungnya berdetak lebih cepat, otot-ototnya menegang. Ada bisikan halus di benaknya, suara yang bukan miliknya, seakan membujuk: 'Habisi mereka... Hancurkan...' Kaelen menggeleng pelan, berusaha mengusir suara itu, tetapi ia tahu kekuatan gelap itu semakin kuat, menanti saatnya mengambil kendali. Ia merasakan kekuatan gelap itu bergetar halus, meminta untuk dilepaskan. Namun, ia menahannya.

Mereka memutar jalur, bergerak lebih hati-hati. Butuh waktu lebih lama, tetapi akhirnya mereka berhasil keluar dari area patroli tanpa diketahui.

Saat malam mulai turun, mereka mendirikan perkemahan sederhana di bawah naungan pohon besar. Api kecil dinyalakan sekadar untuk menghangatkan tubuh.

Kaelen duduk di samping Lyra, sementara Serina duduk agak menjauh. Darek dan Varrok membicarakan rencana perjalanan esok hari. Aria telah tertidur bersandar pada Kael.

Dalam cahaya api unggun, Kaelen dan Lyra berbicara pelan.

"Kau pernah membayangkan hidup normal?" tanya Lyra.

Kaelen terdiam sejenak. "Dulu, sebelum semuanya hancur. Sekarang... aku bahkan lupa seperti apa rasanya."

Lyra tersenyum tipis. "Kalau kita menang, kau pikir itu mungkin?"

Kaelen menatapnya. "Aku ingin percaya... Tapi kadang aku takut, setelah semua ini berakhir, aku tak punya apa-apa lagi. Semua yang kubangun hanya untuk perang."

Lyra meraih tangan Kaelen perlahan. "Kalau kau mau... aku bisa ada di sana, setelah semuanya."

Kaelen merasakan dadanya menghangat, tetapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah muncul. Ia melirik Serina yang menatap mereka sekilas, sebelum mengalihkan pandangannya ke gelapnya hutan.

Kaelen tahu, api sedang menyala di antara mereka. Ia mulai merasakan perasaannya terhadap Lyra tumbuh lebih dari sekadar rasa perlindungan. Namun, di sisi lain, ia tak bisa mengabaikan Serina—kehadirannya memberi rasa tenang yang berbeda, meski kini dibalut ketegangan. Kaelen takut, jika dibiarkan, perasaan ini akan memecah belah mereka, merusak kepercayaan yang begitu sulit dibangun. Di tengah ancaman musuh, perpecahan dari dalam adalah bahaya yang sama mematikannya. Dan api itu bisa menjadi cahaya... atau membakar mereka semua.