The Shattered Light-Chapter 31: – Retakan Kepercayaan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 31 - – Retakan Kepercayaan

The 𝘮ost uptodat𝑒 novels are pub𝙡ished on freeweɓnovēl.coɱ.

Kelompok Kaelen bergerak lebih jauh ke dalam hutan setelah pertempuran itu, namun ketegangan yang membebani mereka tak kunjung mereda. Langkah-langkah kaki mereka di atas dedaunan kering terasa semakin berat, seolah bayangan kematian mengikuti di belakang. Matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan, menciptakan siluet kelam yang memperkuat rasa was-was.

Varrok memimpin dengan sikap lebih waspada dari biasanya. Matanya menyisir setiap sudut, sementara tangan kanannya tak pernah jauh dari gagang pedangnya. Darek dan Aria tetap di belakang, menjaga formasi, tetapi sorot mata mereka mencerminkan kelelahan bercampur kecemasan. Serina berjalan di samping Kaelen, namun jarak di antara mereka terasa lebih jauh dari sebelumnya. Lyra, di sisi lain Kaelen, sesekali melirik ke arahnya, seakan ingin memastikan bahwa pemuda itu masih bersamanya—secara fisik maupun batin.

Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam, Varrok akhirnya memberi isyarat untuk berhenti. Mereka tiba di sebuah ceruk kecil yang tersembunyi di balik bebatuan besar, tempat yang cukup aman untuk beristirahat. Udara dingin mulai menusuk, seiring kabut tipis perlahan merayap di sela pepohonan.

Saat semua duduk, suasana sunyi membekap mereka. Hanya suara napas berat dan desir angin yang menemani. Kaelen duduk bersandar pada batu besar, pandangannya kosong menatap tanah. Dalam benaknya, sisa-sisa kenangan ibunya terus menghilang, seperti pasir yang terbang ditiup angin. Ia mencoba mengingat suara lembut ibunya yang biasa membangunkannya saat kecil, tetapi hanya gema samar yang tersisa.

"Kita selamat... untuk saat ini," kata Varrok, memecah keheningan. "Tapi mereka tahu kita di sini. Kita harus bergerak sebelum malam."

Serina memandang Kaelen. "Apa kau yakin baik-baik saja?" suaranya pelan, namun penuh perhatian.

Kaelen mengangguk, meski dalam hatinya ia tahu itu kebohongan. "Aku baik."

Namun, Lyra yang duduk di dekatnya tampak tak percaya. "Kaelen... aku melihat matamu tadi. Itu bukan kau."

Kaelen terdiam. Ia merasakan tatapan semua orang tertuju padanya. Beban itu kian berat. Jantungnya berdetak cepat, seolah menantikan penghakiman.

Varrok, yang biasanya tenang, kini bersuara dengan nada lebih tegas. "Aku tahu kau memiliki kekuatan itu, Kaelen. Tapi kau harus bisa mengendalikannya. Jika kekuatan itu mulai mengendalikanmu... kita semua dalam bahaya."

Kaelen mengepalkan tangannya, menahan rasa sakit yang bergejolak dalam dirinya. "Aku tidak pernah ingin menggunakan kekuatan itu. Tapi jika aku tidak menggunakannya, Lyra bisa mati." Suaranya bergetar, menahan emosi yang bercampur antara rasa takut dan bersalah.

Serina menunduk. Ia memahami dilema Kaelen, tetapi ketakutan akan dampak kekuatan itu terus menghantuinya. Dalam benaknya, ia mengingat senyum Kaelen di masa lalu, sebelum kegelapan itu mulai merayapi jiwanya.

"Bagaimanapun, kita adalah satu tim," kata Darek, mencoba mencairkan suasana. "Kaelen, kami hanya ingin memastikan kau tetap bersama kami, utuh."

Kaelen mengangkat wajahnya, menatap satu per satu rekan-rekannya. Ada ketulusan dalam mata mereka, namun juga kekhawatiran yang sulit disembunyikan. Ia merasa terasing, seolah jurang antara dirinya dan mereka semakin lebar.

Tiba-tiba, Aria berbicara, suaranya gemetar. "Apa kita benar-benar bisa mempercayai kekuatan itu? Bagaimana jika suatu hari... dia tidak lagi bisa mengendalikan dirinya?"

Pertanyaan itu membuat semuanya terdiam. Bahkan Varrok pun tak segera menjawab. Angin malam bertiup lirih, seakan menegaskan ketakutan yang mulai tumbuh di antara mereka.

Kaelen berdiri perlahan. "Aku paham jika kalian meragukanku. Aku juga takut... setiap kali aku menggunakan kekuatan itu, aku kehilangan sesuatu yang berharga. Ibuku... suaranya... senyumnya... sekarang hampir hilang dari ingatanku."

Matanya berkaca-kaca. "Aku tidak ingin kehilangan kalian juga. Aku bersumpah akan melawan kegelapan ini. Tapi... aku butuh kalian di sisiku."

Keheningan panjang menyusul. Serina bangkit, mendekat, lalu meletakkan tangannya di bahu Kaelen. "Kami bersamamu, Kaelen. Selalu."

Lyra mengangguk, meski wajahnya masih diliputi kekhawatiran. Darek dan Aria saling pandang, lalu memberikan anggukan singkat. Varrok menghela napas panjang.

"Kita semua punya ketakutan masing-masing. Tapi kita juga punya tujuan yang sama. Kita hanya akan menang jika kita saling percaya," kata Varrok tegas.

Kaelen merasa sedikit lega, meski jauh di lubuk hatinya, ia tahu ini baru permulaan. Ia harus membuktikan pada mereka—dan pada dirinya sendiri—bahwa ia mampu melawan kegelapan dalam dirinya tanpa kehilangan orang-orang yang ia cintai.

Sore mulai menjelang. Mereka bersiap melanjutkan perjalanan. Namun, retakan kecil di antara mereka telah muncul. Dan Kaelen hanya bisa berharap, retakan itu tidak akan menjadi jurang yang memisahkan mereka selamanya. Di kejauhan, burung gagak melintas di langit yang mulai gelap, seolah menjadi pertanda bahwa badai yang lebih besar tengah menanti.