©WebNovelPlus
The Shattered Light-Chapter 34: – Pertemuan di Batas Harapan
Chapter 34 - – Pertemuan di Batas Harapan
Kabut pagi perlahan menipis saat Kaelen dan kelompoknya melanjutkan perjalanan melewati jalur setapak yang menanjak. Udara masih terasa dingin, menusuk kulit, namun keringat mulai membasahi tubuh mereka akibat ketegangan dan kelelahan. Setiap langkah terukur, setiap gerakan penuh kewaspadaan.
Setelah berjam-jam berjalan, mereka tiba di sebuah celah sempit di antara dua tebing tinggi. Varrok mengangkat tangan memberi isyarat berhenti. Matanya tajam menyisir sekeliling.
"Ini batas wilayah kelompok Balrik," bisik Varrok. "Mereka dikenal keras dan curiga pada orang asing. Kita harus menunjukkan niat baik."
Kaelen merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Mereka berada di ambang pertemuan penting—mungkin awal terbentuknya kekuatan baru, atau akhir dari perjalanan mereka.
Serina mendekat ke Kaelen. "Apa kau siap?" suaranya lembut, tetapi penuh kekhawatiran.
Kaelen menatapnya dan mengangguk. "Aku harus siap. Kita semua harus."
Varrok melangkah maju, mengangkat tangannya sebagai tanda damai. "Kami datang untuk bertemu Balrik. Kami membawa tujuan yang sama—melawan Ordo Cahaya. Kami ingin bicara."
Hening. Tak ada jawaban.
Tiba-tiba, dari balik bebatuan dan semak-semak, beberapa pria bersenjata muncul dengan busur terarah ke mereka. Wajah-wajah mereka keras, penuh curiga. Salah satu dari mereka, bertubuh kekar dengan bekas luka di pipi, melangkah maju.
"Apa bukti bahwa kalian bukan mata-mata Ordo?" suaranya serak.
Varrok menarik napas dalam. "Aku pernah bertemu Balrik di medan pertempuran tiga tahun lalu. Kami bertarung bahu-membahu melawan penjaga Ordo di Benteng Arhel. Aku adalah Varrok. Jika dia masih mengingatku, dia tahu aku tak berbohong."
Pria itu menatap Varrok lama, menimbang-nimbang. Lalu, ia memberi isyarat kepada anak buahnya untuk menurunkan senjata.
"Ikut kami. Satu kesalahan saja, nyawa kalian taruhannya."
Kaelen dan yang lain saling pandang sebelum mengikuti langkah para prajurit itu. Mereka dibawa melewati jalur berliku, hingga akhirnya sampai di sebuah perkemahan tersembunyi di lereng bukit. Puluhan pejuang tampak berjaga di sana, sebagian melatih pedang, yang lain memperbaiki perlengkapan perang.
Di tengah perkemahan, berdiri seorang pria paruh baya dengan rambut perak yang disisir ke belakang, dan bekas luka panjang di pelipis. Tatapan matanya tajam, penuh wibawa. Itulah Balrik.
"Varrok..." Balrik mengangguk pelan. "Aku mengira kau sudah mati."
Varrok tersenyum tipis. "Belum. Tapi hampir."
Balrik tertawa kecil, meski jelas ada kelelahan di balik tawanya. "Apa yang membawamu ke sini?"
Varrok menatap Kaelen sesaat sebelum menjawab. "Kami ingin membentuk aliansi. Ordo Cahaya semakin kuat dan kejam. Kami tak bisa melawan mereka sendirian. Kami butuh bantuanmu, Balrik. Demi kebebasan yang kita perjuangkan bersama."
Balrik terdiam sejenak. Ia mengamati wajah satu per satu anggota kelompok Varrok. Tatapannya berhenti lebih lama di Kaelen, seolah menilai sesuatu yang tak terlihat.
"Kau terlihat berbeda, anak muda," ujar Balrik pada Kaelen. "Apa yang membuatmu bertarung?"
Kaelen mengangkat wajahnya. Kenangan akan desa yang terbakar dan kedua orang tuanya yang tewas terlintas sejenak. Suara ibunya yang semakin hilang dari ingatannya menggema samar.
"Aku bertarung karena aku kehilangan segalanya. Dan aku tak ingin orang lain mengalami hal yang sama." Suaranya tegas, namun ada getar kesedihan di dalamnya.
Balrik mengangguk pelan, tampaknya puas dengan jawaban itu.
"Baik. Aku akan mendengarkan rencana kalian. Tapi ketahuilah... jika kalian mengkhianati kami, tak ada tempat bersembunyi di dunia ini yang bisa menyelamatkan kalian."
New novel 𝓬hapters are published on freёwebnoѵel.com.
Kaelen mengangguk mantap. "Kami paham."
Varrok mulai menjelaskan garis besar rencana mereka. Serina mencatat beberapa hal, sementara Lyra sesekali melirik Kaelen dengan cemas. Darek dan Aria memperhatikan setiap gerak-gerik para prajurit Balrik.
Matahari mulai condong ke barat. Di bawah cahaya redup itu, benih persekutuan mulai tumbuh. Namun di kejauhan, di balik bayangan tebing, Eryon masih mengamati, dengan senyum samar di wajahnya. Ia tahu, semakin Kaelen melangkah maju, semakin ia mendekati jurang kehancuran dirinya sendiri.
Angin lembah berdesir, membawa firasat akan peperangan yang semakin dekat.