The Shattered Light-Chapter 51: – Persiapan di Ambang Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 51 - – Persiapan di Ambang Kegelapan

Udara sore di pos kecil itu terasa lebih berat dari biasanya. Langit kelabu, seolah menjadi pertanda bahwa sesuatu yang lebih buruk akan segera datang. Di sekeliling pagar kayu yang mulai lapuk, para prajurit sibuk memperkuat pertahanan. Suara palu menempa besi, kayu dipaku, dan desah napas berat para prajurit bercampur menjadi satu. Semuanya tahu, malam ini bisa jadi akhir bagi mereka.

Kaelen berdiri di tengah pos, matanya tajam mengamati segala aktivitas. Di dalam dadanya, perasaan waspada bercampur dengan kecemasan yang terus menghantuinya sejak bisikan di hutan. Garel masih berdiri di sudut, mencatat sesuatu di perkamen seperti biasa. Namun kini, setiap gerakan Garel terasa lebih mencurigakan bagi Kaelen.

"Kaelen," panggil Varrok, menghampiri dengan langkah tegas. "Kami sudah memasang barikade tambahan di sisi timur dan selatan. Tapi kekuatan kita menipis. Jika mereka menyerang dalam jumlah besar, kita bisa habis."

Kaelen mengangguk pelan. "Aku tahu. Kita tidak punya pilihan selain bertahan. Kita tidak bisa mundur."

Serina dan Lyra datang membawa kantung air dan roti kering. Keduanya tampak khawatir, namun berusaha menutupi rasa takut mereka.

"Makanlah dulu, Kaelen," ujar Serina lembut.

Kaelen mengambil kantung air itu dan meneguknya perlahan.

Lyra berdiri di samping Serina, suaranya lirih. "Apa menurutmu... kita bisa selamat?"

Kaelen terdiam sejenak, lalu menatap mereka berdua. "Aku tidak tahu. Tapi aku berjanji... aku akan melindungi kalian sampai akhir."

Serina menunduk, menggenggam tangannya erat. Lyra memandang Kaelen, ada sesuatu yang ingin ia katakan, namun ia urungkan. Di dalam hati Kaelen, muncul rasa bersalah. Ia tahu Serina dan Lyra sama-sama peduli padanya, tapi di tengah ancaman ini, perasaannya bercampur aduk antara rasa tanggung jawab dan ketakutan kehilangan mereka.

Rhal mendekat, suaranya tegas seperti biasa. "Kaelen, aku ingin berbicara empat mata."

Kaelen mengikuti Rhal ke sudut pos yang lebih sepi. Rhal menatapnya dengan serius.

"Aku melihat cara kau menatap Garel. Kau curiga padanya, bukan?" tanya Rhal.

Kaelen menghela napas. "Aku tidak yakin. Tapi... ada sesuatu yang menggangguku. Sejak bisikan itu, aku merasa seperti dia tahu lebih banyak daripada yang terlihat."

Rhal mengangguk. "Aku juga merasakannya. Dia selalu mengamati, mencatat, dan tahu banyak hal. Jika dia berkhianat... kita bisa celaka."

Kaelen mengepalkan tangannya. "Tapi kita belum punya bukti. Kita tidak bisa sembarangan menuduh. Itu bisa memecah belah kita."

Rhal setuju. "Baik. Tapi kita harus tetap awasi dia. Aku akan berjaga malam ini, pastikan dia tidak bergerak aneh."

Saat mereka kembali ke kelompok, Balrik tampak tengah berbicara dengan Varrok.

"Aku melihat sesuatu tadi di luar pagar. Seperti bayangan. Tapi saat aku dekati, hilang," lapor Balrik, napasnya berat.

Varrok mengusap dagunya. "Mereka sedang mengamati kita. Mereka menunggu saat yang tepat."

Kaelen merasakan bulu kuduknya berdiri. Musuh ada di luar sana, mengintai. Dan mungkin, musuh juga ada di dalam pos ini.

Malam menjelang, dan suasana menjadi semakin mencekam. Api unggun dinyalakan di beberapa titik, namun cahaya itu seakan kalah oleh kegelapan yang mengitari hutan. Setiap suara ranting patah membuat para prajurit tersentak.

Kaelen duduk di dekat api, Serina duduk di sampingnya. Lyra tak jauh dari mereka, memperbaiki busurnya.

This content is taken from fгee𝑤ebɳoveɭ.cøm.

"Kaelen," bisik Serina. "Apa kau... masih ingat ibumu?"

Kaelen terdiam. Ada kekosongan di kepalanya setiap kali mencoba mengingat sosok ibunya. Wajah itu semakin pudar. Suaranya bahkan sudah hilang.

"Aku... tidak bisa mengingat suaranya lagi," jawab Kaelen pelan, suaranya bergetar.

Serina menatapnya iba. Ia menggenggam tangan Kaelen, mencoba memberi kehangatan. Kaelen merasa hangat, tetapi juga canggung. Di seberang api, Lyra melirik mereka. Ada nyeri yang tak ia ungkapkan. Hatinya dipenuhi pertanyaan—apa Kaelen mulai memilih Serina?

Tiba-tiba, suara jeritan pendek terdengar dari sisi utara pos. Semua langsung bangkit, mencabut senjata.

Varrok berlari ke arah sumber suara, diikuti Kaelen dan Rhal. Mereka menemukan seorang prajurit terkapar, matanya terbuka lebar, tapi kosong. Tidak ada luka, namun wajahnya pucat seperti kehilangan jiwa.

"Apa yang terjadi?!" tanya Varrok tegang.

Prajurit lain tergagap. "Kami hanya berjaga... dia tiba-tiba jatuh... lalu begitu saja... seperti ini."

Kaelen berjongkok, menyentuh leher prajurit itu. Masih hangat, tapi jiwanya jelas telah pergi.

"Ini sihir kegelapan," gumam Kaelen.

Balrik mendekat, wajahnya memerah marah. "Dia berjaga dengan Joren! Kau lihat apa?! Kau pasti tahu sesuatu!"

Joren tersentak. "Aku... aku tidak tahu apa-apa! Aku melihatnya sehat-sehat saja! Aku bersumpah!"

"Cukup!" bentak Kaelen. "Jangan biarkan ketakutan membuat kita saling menyerang. Kita harus bersatu!"

Namun, percikan kecurigaan sudah menyebar. Beberapa prajurit mulai saling pandang dengan gelisah.

Kaelen berdiri, suaranya tegas. "Tetap waspada! Jangan biarkan ketakutan menguasai kalian! Kita hadapi ini bersama!"

Namun, dalam hatinya, Kaelen tahu... musuh sudah mulai merasuki mereka. Dan ia harus menentukan siapa yang bisa benar-benar dipercaya.

Di sudut pos, Garel memperhatikan kejadian itu dengan senyum tipis. Tangannya mencatat sesuatu di perkamen, matanya memancarkan sesuatu yang sulit ditebak. Kaelen melihat sekilas, dan rasa curiga itu semakin kuat.

Sebelum kembali ke tendanya, Kaelen menarik Varrok ke sudut.

"Aku tak yakin kita bisa bertahan jika kita mulai saling curiga," bisik Kaelen.

Varrok mengangguk. "Aku tahu. Tapi kita harus bersiap. Musuh kita mungkin ada di dalam sini."

Kaelen memandang hutan yang gelap. Di kejauhan, samar-samar, ia melihat cahaya kehijauan berkelebat. Seperti sosok berjubah tinggi. Kaelen berkedip, dan cahaya itu lenyap.

"Apa itu..." gumamnya.

Varrok menoleh. "Apa kau lihat sesuatu?"

Kaelen menggeleng. "Mungkin hanya pikiranku yang lelah."

Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu—ini baru permulaan.