©WebNovelPlus
The Shattered Light-Chapter 59: – Bayangan Masa Lalu
Chapter 59 - – Bayangan Masa Lalu
Fajar baru menyingsing ketika Kaelen membuka matanya, dadanya masih naik turun akibat mimpi aneh yang menghantuinya semalam. Suara itu, suara yang terasa begitu familiar, terus menggema di kepalanya. Ia menggenggam pedangnya erat, seolah mencoba mencari kenyataan di tengah pikirannya yang kacau.
Lyra memperhatikannya dari dekat. "Kau tidak tidur dengan nyenyak."
Kaelen menghela napas. "Aku baik-baik saja."
"Kau tidak terlihat baik."
Foll𝑜w current novℯls on ƒrēewebnoѵёl.cσm.
Ia tidak menjawab, hanya menatap horizon yang perlahan disinari matahari. Ada sesuatu yang mengusiknya, sebuah perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan. Bukan sekadar rasa lelah atau kehampaan, tetapi sesuatu yang lebih mendalam—sebuah kerinduan yang tidak ia pahami.
Varrok mendekati mereka dengan ekspresi serius. "Kita harus bergerak sekarang. Kepala desa mengatakan ada patroli Ordo Cahaya di sekitar perbatasan. Jika kita tinggal lebih lama, kita bisa menarik perhatian."
Kaelen mengangguk. "Kita pergi sekarang."
Mereka melanjutkan perjalanan menyusuri jalur hutan yang semakin rapat, cahaya matahari hanya sedikit menembus celah pepohonan. Langkah mereka cepat, tetapi penuh kewaspadaan. Lyra tetap di samping Kaelen, sesekali mencuri pandang ke arahnya, seolah menunggu sesuatu dari dirinya.
"Kaelen..." Lyra akhirnya berbicara. "Apa yang kau impikan tadi malam?"
Kaelen terdiam sejenak, sebelum akhirnya menjawab dengan suara pelan. "Aku tidak tahu... Tapi ada seseorang yang berbicara kepadaku. Aku berada di padang rumput yang diselimuti kabut. Angin bertiup lembut, membawa bisikan yang nyaris tak terdengar. 'Kaelen... ingatlah aku...' Suara itu akrab, tetapi wajah yang berbicara tetap kabur, seolah ditelan oleh cahaya dan bayangan yang saling bertabrakan."
Lyra menarik napas dalam. "Mungkin itu bukan sekadar mimpi."
Kaelen menatapnya dengan bingung. "Apa maksudmu?"
"Bagaimana jika... bagian dari dirimu yang hilang mencoba kembali?"
Kaelen menggeleng. "Aku tidak ingin membicarakan ini."
Lyra menghela napas, tetapi memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Mereka terus berjalan dalam diam hingga sebuah suara di kejauhan menghentikan langkah mereka. Derap kaki kuda.
Varrok memberi isyarat agar mereka bersembunyi di balik pepohonan. Dari balik dedaunan, mereka melihat sekelompok pasukan Ordo Cahaya menunggangi kuda dengan bendera khas mereka berkibar di angin.
"Jumlah mereka lebih banyak dari yang kita perkirakan," bisik Varrok. "Jika mereka menemukan kita, kita tidak akan bisa melawan secara langsung."
Kaelen mengepalkan tangannya. Sebuah denyut nyeri mendadak menusuk kepalanya, membuatnya sedikit goyah. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyerang, untuk menghabisi mereka dengan kekuatan yang ia miliki. Tetapi rasa sakit itu semakin nyata, seolah pikirannya sedang terkikis, mencakar-cakar kesadarannya. Tetapi, di sudut pikirannya, ada suara lain yang berbisik—peringatan bahwa setiap kali ia menggunakan kekuatannya, sesuatu dalam dirinya akan hilang lagi.
Lyra menyadari perubahan ekspresi Kaelen. "Jangan lakukan ini."
Kaelen menoleh padanya. "Kita bisa menghabisi mereka sebelum mereka menemukan kita."
"Kita tidak tahu apakah mereka benar-benar mencari kita," ujar Lyra dengan suara tegas. "Dan kau tahu apa yang akan terjadi jika kau menggunakan kekuatanmu lagi."
Kaelen merasakan perlawanan dalam dirinya sendiri. Ada amarah yang berkecamuk, tetapi juga ketakutan yang tumbuh di dalam hatinya. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
Akhirnya, ia berbisik, "Kita bersembunyi."
Mereka tetap diam di balik bayangan hutan, membiarkan pasukan Ordo Cahaya melewati mereka tanpa menyadari kehadiran mereka. Salah satu prajurit menghentikan kudanya, kepalanya menoleh tajam ke arah semak tempat mereka bersembunyi. Kaelen menahan napas, mendengar suara langkah kaki mendekat. Jika prajurit itu hanya melangkah sedikit lebih dekat...
Tiba-tiba, seekor burung hantu terbang dari pohon di dekatnya, mengejutkan sang prajurit. Ia menggelengkan kepala dan kembali ke barisan. Kaelen menatap Lyra, yang jelas-jelas juga menahan napas. Saat suara kuda mulai menjauh, Kaelen merasakan tubuhnya sedikit rileks. Namun, ada perasaan aneh yang tersisa dalam dirinya—perasaan bahwa keputusan ini bukan hanya soal bertahan hidup, tetapi juga tentang mempertahankan jati dirinya yang tersisa.
Saat mereka melanjutkan perjalanan, Lyra berjalan lebih dekat ke Kaelen dan menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. "Aku tahu kau berjuang untuk mengingat. Aku tahu betapa sakitnya kehilangan sesuatu yang penting. Tapi aku tidak akan membiarkanmu jatuh lebih dalam. Aku akan ada di sini, sampai kau menemukan dirimu kembali." Matanya berkaca-kaca, tetapi suaranya tetap tegas.
Kaelen tidak menjawab, tetapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada sesuatu yang masih layak diperjuangkan.