The Shattered Light-Chapter 64: – Bayangan di Ambang Kegelapan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 64 - – Bayangan di Ambang Kegelapan

Perjalanan menuju Jantung Kegelapan dimulai sebelum fajar menyingsing. Langit masih pekat dengan warna malam saat Kaelen, Lyra, Varrok, dan Veylan meninggalkan gua persembunyian mereka. Suara hutan terdengar sunyi, seolah menahan napas sebelum bencana datang. Di kejauhan, kilatan cahaya oranye dari api unggun pasukan Ordo Cahaya masih terlihat, mengingatkan mereka bahwa bahaya terus mengintai.

Mereka bergerak dalam diam, hanya suara langkah kaki di atas tanah lembab yang menemani. Kaelen melirik Lyra, yang meski terlihat ragu, tetap melangkah di sisinya. Varrok berjalan dengan kapak besar tergantung di punggungnya, selalu siaga. Sementara itu, Veylan memimpin mereka dengan percaya diri, seolah jalanan menuju Jantung Kegelapan telah terpatri di benaknya.

"Berapa jauh lagi?" tanya Kaelen akhirnya, memecah kesunyian.

Veylan menoleh sedikit. "Sehari perjalanan jika kita terus bergerak tanpa henti. Tapi jalan yang akan kita tempuh bukan sekadar perjalanan fisik. Ada sesuatu di sana yang akan menguji kita, lebih dari sekadar kekuatan."

Lyra mengerutkan dahi. "Ujian seperti apa?"

Veylan terdiam sejenak sebelum menjawab, "Bayangan masa lalu. Setiap orang yang memasuki Jantung Kegelapan akan dihadapkan pada sesuatu yang paling mereka takutkan—atau sesuatu yang paling mereka inginkan."

Kaelen mengepalkan tangannya. Ia tahu bahwa bagi dirinya, ujiannya bukanlah sekadar ketakutan... melainkan kebenaran yang telah lama terkubur.

Saat matahari mulai naik, mereka mencapai perbatasan hutan yang mengarah ke wilayah terlarang. Di hadapan mereka terbentang daratan tandus dengan kabut hitam pekat yang bergolak seperti ombak. Kabut itu tidak hanya bergerak—ia berdenyut, seolah memiliki nyawa sendiri. Suara bisikan samar terdengar di dalamnya, bukan suara yang jelas, tetapi lebih seperti gema pikiran yang berdesakan di kepala Kaelen. Aroma tanah basah bercampur dengan sesuatu yang lebih tajam—seperti logam dan asap, seperti darah yang telah lama mengering. Udara di sini lebih berat, seolah menekan dada mereka dengan ketidakterlihatan yang menyesakkan.

"Ini dia," gumam Veylan. "Jantung Kegelapan."

Kaelen melangkah maju, merasakan aura menyesakkan dari tempat itu. Bayangan di tanah tampak lebih panjang, lebih pekat dari biasanya. Mereka seperti merayap ke arahnya, mencoba menariknya ke dalam kehampaan.

Lyra menyentuh lengannya. "Kau yakin ingin melakukan ini?"

Kaelen menatapnya dalam-dalam. "Aku harus. Jika aku tidak tahu kebenaran sekarang, aku mungkin tidak akan pernah mendapatkannya."

Varrok menghela napas. "Baiklah, kalau begitu kita tidak punya pilihan lain."

Veylan mengangkat tangannya, dan udara di sekitar mereka mulai bergetar. Lambang-lambang kuno muncul di tanah, membentuk lingkaran yang bersinar redup. "Ketika kita melangkah ke dalam, tidak ada jalan kembali sampai kita menemukan jawaban kita masing-masing," katanya dengan nada serius. "Apapun yang terjadi, tetap ingat siapa diri kalian."

Satu per satu, mereka melangkah ke dalam kabut.

Dunia di dalam Jantung Kegelapan tidak seperti yang mereka bayangkan. Begitu mereka memasuki kabut, kelompok mereka langsung terpisah. Kaelen mendapati dirinya berdiri di tempat yang aneh—sebuah dataran luas dengan langit kelabu, tetapi yang lebih mengerikan adalah sosok-sosok yang berdiri di sekelilingnya.

Orang-orang yang seharusnya tidak ada lagi di dunia ini.

Kaelen mundur selangkah, matanya membesar saat melihat dua sosok yang sangat dikenalnya: Darius dan Elara Draven. Ayah dan ibunya.

Napasnya tercekat. "Tidak... ini tidak mungkin."

Elara tersenyum lembut, matanya penuh kasih sayang. "Kaelen, anakku..."

Darius menatapnya dengan bangga. "Kau telah tumbuh menjadi pria yang kuat."

Kaelen merasakan lututnya melemah. Kenangan tentang mereka telah lama memudar, tetapi melihat mereka sekarang—seolah semuanya nyata—membuat dadanya sesak.

"Kalian... kalian seharusnya sudah mati," katanya dengan suara parau.

Elara melangkah mendekat, mengulurkan tangannya. "Kami tidak pernah pergi, Kaelen. Kau hanya melupakan kami."

Kaelen merasa pikirannya berkabut. Keraguan mulai menyelinap. Apa jika... mereka memang benar? Jika selama ini ia hanya membangun dinding pertahanan untuk menghindari rasa sakit? Tangan ibunya yang terulur tampak begitu nyata. Hangat. Ia bisa merasakan desir emosinya sendiri saat hampir menggapainya... tetapi sesuatu di dalam dirinya menolak. Tidak. Ini tidak nyata. Namun, bagaimana jika dia salah? Ingin menyerah pada kehangatan yang telah lama hilang dari hidupnya. Namun, di sudut lain pikirannya, sebuah suara memperingatkannya.

Ini bukan nyata.

Ia mengerjapkan mata, mencoba fokus. "Tidak... ini hanya ilusi. Kalian bukan orang tuaku."

Ekspresi Elara berubah, senyumnya memudar. Darius menggelengkan kepala dengan kecewa. "Mengapa kau menolak kami, Kaelen? Kami keluargamu."

Kaelen menggertakkan giginya. "Tidak... kalian hanyalah bayangan yang mencoba menyesatkanku."

Saat itu juga, udara di sekitar mereka bergetar, dan bayangan sosok kedua orang tuanya mulai retak seperti kaca. Suara mereka berubah menjadi bisikan menyeramkan yang bergema di dalam pikirannya.

"Kau akan kehilangan segalanya, Kaelen... seperti yang selalu terjadi..."

Kemudian, mereka lenyap, meninggalkan kehampaan yang menusuk hati Kaelen. Saat bayangan itu pecah seperti kaca yang hancur, Kaelen merasakan gelombang dingin menyapu dirinya. Napasnya tersengal. Tubuhnya seolah kehilangan keseimbangan, dan kepalanya berdenyut hebat. Ketika ia mencoba mengingat wajah ibunya—bukan ilusi tadi, tetapi kenangan aslinya—ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Dia tidak bisa mengingat suaranya lagi.

Ia jatuh berlutut, keringat dingin membasahi dahinya. Nafasnya berat, tetapi ia tahu satu hal—ia telah berhasil melewati ujian pertamanya.

Namun, di dalam Jantung Kegelapan, masih banyak yang menunggunya... dan tidak semuanya akan mudah untuk dihadapi.

Di tempat lain, Lyra jatuh terduduk, tangannya mencengkeram tanah. Bayangan di sekitarnya membentuk sosok yang tidak pernah ingin ia lihat kembali—ayahnya, Grandmaster Elvior.

'Kau tidak bisa lari dari siapa dirimu sebenarnya, Lyra,' suaranya terdengar mengancam.

Ia merasakan ketakutan mencengkeram dirinya. Tetapi jauh di dalam kegelapan, ia juga mendengar suara lain—suara Kaelen. Dan ia tahu bahwa mereka harus bertahan.

This content is taken from fгeewebnovёl.com.