©WebNovelPlus
The Shattered Light-Chapter 66: – Jalan Tanpa Cahaya
Chapter 66 - – Jalan Tanpa Cahaya
Kaelen masih berlutut, napasnya memburu setelah konfrontasi dengan bayangan dirinya sendiri. Meski pertarungan telah berakhir, bekasnya masih tertinggal dalam dadanya. Dia tahu ini belum selesai. Jantung Kegelapan belum selesai mengujinya.
Lyra tetap berada di sisinya, jemarinya masih menggenggam tangan Kaelen erat. "Kau yakin bisa melanjutkan?" tanyanya dengan suara yang mengandung kekhawatiran.
Kaelen mengangguk perlahan. "Aku tidak punya pilihan."
Veylan melangkah maju, sorot matanya tajam. "Ini baru permulaan. Apa yang kau hadapi tadi adalah bagian dari dirimu sendiri. Tapi Jantung Kegelapan tidak hanya menguji hati—ia juga menguji tujuan."
Varrok menyilangkan tangan di dadanya. "Kalau begitu, ayo lanjutkan. Aku tidak suka berlama-lama di tempat seperti ini."
Tanpa menunggu lebih lama, mereka kembali melangkah ke dalam kabut yang semakin pekat. Setiap langkah terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan mereka. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, dan suara-suara samar masih terus berbisik di sekeliling mereka.
'Kau tidak akan menemukan apa yang kau cari...'
'Setiap langkahmu hanya membawa kehancuran...'
Kaelen menutup matanya sejenak, mencoba mengabaikan suara-suara itu. Namun, ketika dia membuka matanya lagi, dia menyadari sesuatu yang salah.
Mereka tidak lagi berjalan di jalur yang sama.
Mereka kini berdiri di tengah reruntuhan kota yang asing. Bangunan-bangunan batu hitam menjulang tinggi, beberapa di antaranya telah runtuh. Api berkobar di kejauhan, sementara langit di atas mereka dipenuhi awan gelap berputar, seakan badai besar akan datang.
Foll𝑜w current novels on fɾēewebnσveℓ.com.
"Di mana kita?" Lyra bertanya, matanya membelalak.
Veylan memperhatikan sekeliling dengan ekspresi waspada. "Ini bukan dunia nyata. Ini ingatan."
Kaelen menatap reruntuhan di hadapannya, jantungnya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang akrab tentang tempat ini. Sebuah perasaan yang menggelitik di balik pikirannya.
Kemudian, dia melihatnya.
Sebuah bayangan bergerak di antara reruntuhan. Tidak seperti Pantulan sebelumnya, sosok ini lebih nyata, lebih manusiawi. Dan ketika dia melangkah lebih dekat, wajahnya menjadi jelas.
Itu adalah Serina.
Kaelen membeku. Dadanya terasa sesak, seolah-olah waktu berhenti seketika. Serina berdiri di sana, mengenakan baju zirah tempur yang berlumuran darah, busurnya masih tergenggam erat. Mata hijaunya menatap lurus ke arahnya—penuh dengan emosi yang tidak bisa Kaelen pahami.
"Serina..." suaranya nyaris tak terdengar.
Serina tersenyum, tetapi ada kepedihan dalam ekspresinya. "Akhirnya kau datang."
Lyra menegang di sampingnya. "Kaelen... ini bukan nyata."
Kaelen tahu itu. Dia tahu bahwa Serina telah mati. Dia tahu bahwa dia telah kehilangan ingatan tentangnya karena kekuatannya sendiri. Tapi sekarang, melihatnya di sini, dengan begitu nyata, membuatnya merasa seolah semua itu belum terjadi.
Dia melangkah maju, tetapi Serina mengangkat tangannya untuk menghentikannya.
"Kau tidak bisa menyentuhku," katanya lirih. "Aku bukan lagi bagian dari dunia yang kau kenal."
Kaelen mengepalkan tangannya. "Apa ini? Kenapa kau ada di sini?"
Serina menatapnya dalam. "Karena ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum kau melangkah lebih jauh. Aku adalah bagian dari apa yang telah kau lupakan. Dan aku datang untuk menanyakan satu hal padamu, Kaelen."
Dia mendekat sedikit, suaranya berubah menjadi bisikan. "Apakah kau masih mengingat kenapa kau bertarung?"
Kaelen terdiam. Pertanyaan itu menghantamnya lebih keras dari serangan mana pun yang pernah ia terima.
"Apakah ini tentang balas dendam?" Serina melanjutkan. "Atau tentang sesuatu yang lebih besar?"
Kaelen ingin menjawab, tetapi kata-kata itu terasa macet di tenggorokannya. Dia telah kehilangan begitu banyak. Dia telah mengorbankan dirinya sendiri untuk kekuatan ini, untuk membalas kematian orang-orang yang ia sayangi. Tapi sekarang, ia tidak yakin lagi.
Varrok dan Lyra tetap diam, membiarkan Kaelen menghadapi pertanyaannya sendiri. Veylan, yang biasanya penuh dengan jawaban, hanya mengamati dari kejauhan.
Serina menunggu, tetapi ketika Kaelen masih belum bisa menjawab, ekspresinya berubah menjadi lebih sedih. "Jika kau tidak tahu untuk apa kau bertarung, Kaelen... maka kau akan jatuh lebih dalam ke dalam kegelapan."
Kaelen merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Dia tidak ingin kehilangan dirinya sendiri, tetapi bagaimana jika dia sudah terlambat?
Serina mulai menghilang, tubuhnya memudar menjadi serpihan cahaya. Namun sebelum dia lenyap sepenuhnya, dia berkata satu hal terakhir.
"Kau harus menemukan jawaban itu... sebelum semuanya terlambat."
Lalu dia menghilang, meninggalkan Kaelen sendirian dengan pikirannya.
Jantung Kegelapan semakin dalam menghisap mereka, dan Kaelen tahu... ini belum berakhir.
Dari kejauhan, sesuatu bergerak di dalam bayangan reruntuhan. Sebuah sosok lain yang mengamati mereka. Mata merah menyala di dalam kegelapan, dan bisikan yang lebih dalam terdengar.
'Kebenaran yang kau cari... akan menjadi beban yang tak bisa kau tanggung.'
Tanpa disadari oleh mereka, Jantung Kegelapan telah menyiapkan ujian terakhirnya.