©WebNovelPlus
The Shattered Light-Chapter 71: – Perbatasan Kegelapan
Chapter 71 - – Perbatasan Kegelapan
Pintu batu tertutup di belakang mereka dengan suara gemuruh berat, meninggalkan Kaelen, Lyra, Varrok, dan Veylan dalam kegelapan yang pekat. Tidak ada cahaya, tidak ada suara selain napas mereka yang tertahan. Udara di dalam ruangan ini berbeda—lebih dingin, lebih berat, seakan dipenuhi sesuatu yang tak kasat mata tetapi dapat dirasakan.
Kaelen melangkah perlahan ke depan, mengangkat tangannya. Cahaya redup berwarna kebiruan berkedip dari telapak tangannya, menerangi sekeliling mereka. Mereka berada di dalam aula besar dengan dinding batu yang dihiasi ukiran-ukiran kuno. Simbol-simbol yang mereka lihat tidak asing lagi—lambang Kegelapan, lambang yang selama ini mereka lawan.
"Apa tempat ini?" bisik Lyra, matanya menyapu ukiran-ukiran yang tampak seperti menceritakan kisah kuno.
Veylan melangkah mendekat dan menyentuh dindingnya. "Ini bukan sekadar ruang bawah tanah... Ini adalah inti dari Jantung Kegelapan."
Kaelen menegangkan rahangnya. "Jika ini adalah intinya, maka di sinilah kita akan menemukan jawaban."
Langkah kaki mereka menggema saat mereka berjalan lebih dalam. Lantai di bawah mereka tampak bersinar samar seiring langkah mereka, seolah merespons kehadiran mereka. Semakin mereka melangkah ke dalam, semakin kuat bisikan itu—suara-suara yang seolah berasal dari masa lalu.
'Kau datang...'
'Kebenaran ada di sini...'
'Siapkah kau membayar harganya?'
Kaelen berhenti sejenak, menarik napas dalam. "Ini bukan hanya ilusi."
Seketika, aula yang tadinya kosong mulai berubah. Bayangan muncul di sekitar mereka, berkumpul menjadi sosok-sosok yang semakin nyata. Beberapa dari mereka mengenakan jubah Ordo Cahaya, sementara yang lain terlihat seperti prajurit Kegelapan dari perang bertahun-tahun lalu. Mata mereka kosong, tetapi ekspresi mereka dipenuhi emosi—kemarahan, kesedihan, kebingungan.
Varrok mengangkat kapaknya. "Apa mereka...?"
"Bukan makhluk hidup," jawab Veylan cepat. "Mereka adalah ingatan. Jejak dari mereka yang telah binasa di tempat ini."
Lyra menegangkan busurnya. "Tapi mereka bergerak seperti nyata."
Kaelen menatap salah satu dari mereka, seorang prajurit muda dengan luka di dadanya, yang tampaknya mencoba berbicara tetapi suaranya hanya menjadi bisikan kosong. Sejenak, Kaelen merasakan sesuatu yang dingin merayap di dadanya—kesadaran bahwa tempat ini bukan hanya menyimpan kenangan, tetapi juga rasa sakit yang tak pernah bisa pergi.
Lalu, mereka mendengar suara lain.
Sebuah langkah yang lebih nyata, lebih berwujud dibanding bayangan-bayangan itu.
Dari kegelapan di depan mereka, muncul sosok yang tak asing. Tubuhnya tegap, auranya begitu kuat hingga seakan menekan udara di sekitar mereka.
Eryon.
Mata Kaelen menajam. Ini bukan ilusi, bukan pantulan ingatan. Ini benar-benar dia.
Eryon berdiri dengan tangan di gagang pedangnya, tatapannya tertuju langsung pada Kaelen. "Akhirnya kau sampai di sini."
Kaelen menggenggam pedangnya erat. "Dan aku tidak akan mundur."
Eryon menghela napas, seolah apa yang akan ia katakan memiliki beban lebih dari sekadar ancaman. "Kaelen... ada sesuatu yang harus kau ketahui sebelum kita bertarung."
Kaelen mengangkat dagunya. "Tak ada lagi yang perlu dikatakan."
Namun, sebelum ia bisa menyerang, Eryon berbicara lagi—dan kata-katanya membuat waktu seakan berhenti.
"Aku bukan musuhmu."
Keheningan menyelimuti ruangan. Lyra dan Varrok saling berpandangan, sementara Veylan hanya menyipitkan mata.
Kaelen mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Eryon melangkah maju. "Selama ini, kau menganggap aku sebagai lawan, seseorang yang mengkhianatimu. Tapi kebenaran yang kau cari... ada di balik semua ini." Ia melayangkan tangannya ke sekeliling ruangan. "Aku datang ke sini bukan untuk menghalangimu. Aku datang karena aku juga mencari jawaban."
Kaelen mengendurkan cengkeramannya pada pedangnya, tetapi masih belum sepenuhnya percaya. "Jika kau mencari jawaban, kenapa kau terus berusaha menghancurkan kami?"
Eryon menggeleng. "Karena Ordo Cahaya tidak mengizinkanku bertindak sendiri. Jika aku tidak menunjukkan kesetiaan, aku akan dibunuh sebelum sampai sejauh ini."
Kaelen tidak bisa menahan diri untuk tidak mengingat kilasan-kilasan ingatan yang baru saja ia dapatkan kembali. Dulu, Eryon adalah teman seperjuangannya. Mereka memiliki visi yang sama sebelum semuanya berubah.
Lyra berbicara, suaranya mengandung kecurigaan. "Lalu kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang kau mengungkap ini?"
Eryon menatapnya dengan dingin. "Karena aku harus memastikan bahwa Kaelen cukup kuat untuk mengetahui kebenaran."
Kaelen mengatupkan rahangnya. "Dan apa kebenaran itu?"
Eryon terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbicara.
"Ordo Cahaya tidak hanya ingin menghancurkan Kegelapan. Mereka ingin menghapus keseimbangan. Mereka ingin menguasai segalanya."
Kaelen mengerutkan kening. "Apa maksudmu?"
Eryon melangkah lebih dekat. "Jantung Kegelapan tidak hanya menyimpan kegelapan. Ia juga menyimpan Cahaya yang telah disegel. Kegelapan yang selama ini kita lawan... hanyalah bagian dari permainan mereka."
Lyra terkejut. "Itu tidak mungkin... Ayahku..."
Visit freewёbnoνel.com for the best novel reading experience.
Eryon mengangguk. "Grandmaster Elvior mengetahui ini. Itu sebabnya ia tidak ingin ada yang sampai sejauh ini."
Kaelen menghela napas panjang, pikirannya berputar. Jika yang dikatakan Eryon benar, maka perang ini bukan sekadar antara Cahaya dan Kegelapan. Ini adalah perebutan kekuasaan yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Dan mereka semua adalah bidak dalam permainan itu.
Varrok menggeram. "Jadi apa yang harus kita lakukan?"
Eryon menatap Kaelen dengan tajam. "Kau harus membuat pilihan. Kau bisa menghancurkan Jantung Kegelapan dan menghapusnya selamanya... atau kau bisa membebaskan kekuatan yang tersembunyi di dalamnya dan mengembalikan keseimbangan."
Kaelen menatap ruangan di sekelilingnya. Kedua pilihan itu membawa konsekuensi besar. Jika ia menghancurkan tempat ini, mungkin tak ada lagi perang. Tapi jika ia membebaskannya, ia mungkin membuka sesuatu yang lebih besar dari yang bisa ia kendalikan.
Dan ini adalah keputusan yang hanya bisa ia buat sendiri.
Ia menarik napas dalam, sebelum akhirnya berkata, "Aku akan menemukan jalan."
Eryon tersenyum tipis. "Kalau begitu, bersiaplah. Karena apa pun pilihanmu... pertempuran terakhir sudah menunggu."