The Shattered Light-Chapter 41: – Retakan di Antara Kita

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 41 - – Retakan di Antara Kita

Kabut pagi masih menyelimuti pos penjaga yang kini mereka duduki dengan susah payah. Aroma kayu terbakar masih samar tercium, bercampur bau darah yang mulai memudar. Di sekelilingnya, parit dangkal dan barikade kasar dari batang-batang pohon menjadi satu-satunya perlindungan. Hutan lebat mengelilingi pos, menciptakan perasaan terisolasi sekaligus terancam.

Kaelen duduk di dekat perapian yang dibangun di tengah-tengah halaman terbuka, bersama Varrok yang sedang mengasah pedangnya dengan teliti. Udara dingin membuat napas mereka terlihat seperti asap putih tipis. Suara kayu terbakar sesekali berderak, menjadi satu-satunya pengisi kesunyian selain suara burung-burung hutan yang sesekali terdengar jauh di kejauhan. Kemenangan mereka semalam belum sepenuhnya memberi rasa lega. Kaelen tahu, Eryon masih mengintai di luar sana.

Serina muncul dari salah satu tenda, membawa secangkir air hangat. Pipinya agak memerah karena udara dingin. Ia berjalan perlahan dan menyerahkan cangkir itu kepada Kaelen.

"Kau butuh ini."

"Terima kasih." Kaelen mencoba tersenyum, tetapi sorot matanya tetap suram. Ia meneguk air itu perlahan, membiarkan hangatnya mengalir di tenggorokannya yang kering.

Tak lama, Lyra datang dan duduk di seberangnya. Ia mengenakan mantel tebal, rambutnya sedikit berantakan, namun matanya lebih berbicara daripada bibirnya. Ia menatap Kaelen lama, seolah ingin mengucapkan sesuatu, tetapi ragu-ragu.

"Kau tampak gelisah," kata Varrok akhirnya, memecah keheningan.

Kaelen menghela napas pelan, matanya menatap jauh ke arah pepohonan di ujung pos. "Eryon ada di sana semalam. Dia memperhatikanku."

Serina seketika menegang. "Dia? Apa dia melakukan sesuatu?"

"Tidak. Tapi dia ingin aku tahu dia ada di sana. Seolah... menunggu," jawab Kaelen pelan, suaranya menekan ketakutan yang mengendap di hatinya.

Varrok berhenti mengasah pedangnya, menatap Kaelen dalam-dalam. "Dia memainkan permainannya. Orang seperti Eryon tak pernah terburu-buru. Dia ingin menguji seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum kau jatuh."

Kaelen menggenggam cangkir itu lebih erat. Ujung jarinya memutih karena tekanan. "Aku tak akan jatuh. Aku harus kuat."

Lyra akhirnya memberanikan diri angkat bicara, suaranya lembut namun penuh ketulusan. "Kami di sini untukmu, Kaelen. Kau tak harus menanggung semua ini sendirian."

Serina menimpali, suaranya lirih namun tegas. "Aku juga. Aku akan selalu ada di sisimu, apa pun yang terjadi."

Updat𝒆d fr𝒐m freewebnσvel.cøm.

Kaelen menoleh, menatap mereka satu per satu. Tatapan mereka bertemu, dan untuk sesaat, rasa hangat menyelinap di hatinya. Namun, bayangan kekuatan gelap itu masih terus berbisik di sudut pikirannya, mengingatkannya bahwa kehangatan ini bisa hilang kapan saja.

Suasana sedikit mencair, tetapi ketegangan itu belum sepenuhnya pergi. Rhal tiba-tiba masuk dengan langkah tergesa-gesa. Jaketnya basah oleh embun pagi.

"Ordo Cahaya tampaknya mundur untuk sementara. Aku melihat gerakan mereka menjauh ke arah timur. Tapi aku tak percaya mereka akan menyerah begitu saja. Kita harus waspada."

Balrik menyusul masuk, wajahnya keras seperti biasanya. "Ini hanya ketenangan sebelum badai. Mereka mungkin hanya mundur untuk mengumpulkan kekuatan lebih besar. Kita harus memperkuat pos ini. Setiap sisi pagar harus diperiksa, jebakan di jalur masuk kita tambah lagi. Tak boleh ada celah."

Semua mengangguk setuju. Setelah Balrik dan Rhal pergi, keheningan kembali melingkupi tenda itu. Namun kali ini, atmosfernya berbeda—lebih sarat kekhawatiran yang terselubung.

Serina menoleh ke Kaelen, suaranya bergetar pelan. "Aku tahu kau kuat... tapi aku takut. Aku takut suatu hari kau berubah menjadi seseorang yang tak kami kenali."

Kaelen terdiam. Kata-kata itu menusuknya lebih dalam daripada tebasan pedang mana pun. Karena itulah ketakutannya juga.

"Aku juga takut," jawab Kaelen pelan. "Tapi aku akan berjuang. Untuk kalian. Untuk kita semua."

Lyra tersenyum kecil, meski matanya masih menyimpan ketakutan yang tak mampu disembunyikan. "Kami percaya padamu, Kaelen. Jangan lupakan itu."

Varrok berdiri, menepuk bahu Kaelen. Namun, sebelum pergi, ia bertukar pandang dengan Rhal. Ada ketegangan samar di antara mereka, seperti dua pemimpin yang mulai berbeda pandangan tentang arah perjuangan ini.

Rhal menyuarakan kegelisahannya, suaranya pelan namun tajam. "Kaelen... aku mengerti peranmu penting, tapi jangan biarkan apa yang kau bawa menjadi ancaman bagi kita. Eryon bukan musuh biasa. Jika dia terus mengincarmu, itu berarti kita semua dalam bahaya. Kita harus bersiap untuk segala kemungkinan."

Varrok menghela napas, seolah ingin membantah, tapi ia memilih diam. Kaelen menyadari percikan perbedaan di antara mereka, dan itu menambah beban pikirannya.

Kaelen menjawab lirih, mencoba menenangkan. "Aku paham... Aku akan lebih berhati-hati. Tapi aku butuh kalian tetap bersatu. Kita takkan menang jika mulai saling curiga."

Varrok mengangguk, meski sorot matanya masih menyimpan kekhawatiran.

Kaelen mengangguk, berusaha menurut, namun pikirannya tetap dipenuhi bayangan Eryon dan suara ibunya yang semakin memudar. Di sela-sela pikirannya, ia teringat malam-malam dulu di desanya. Ibunya duduk di samping perapian, menyanyikan lagu pelan sembari membelai rambutnya. Kehangatan itu kini terasa jauh, seperti bara api yang perlahan padam. Ia merindukan rasa aman itu, sesuatu yang kini terasa mustahil didapatkan. Saat ia menutup mata, wajah ibunya hanya samar, semakin jauh setiap kali ia mencoba menggapainya.

Di luar pos, kabut mulai menipis, tetapi bayangan di balik pepohonan tetap terasa. Sesekali terdengar suara gemerisik dari kejauhan—mungkin hewan liar, atau mungkin patroli Ordo Cahaya. Setiap suara kecil menjadi tanda bahaya, membuat semua yang berjaga tak bisa benar-benar tenang. Eryon berdiri di sana, tersembunyi. Wajahnya tenang, matanya mengamati dari kejauhan. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, penuh makna. Ia tahu, benih keraguan telah ditanam. Dan waktunya akan segera tiba.