The Shattered Light-Chapter 42: – Bayang-bayang Kepercayaan

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 42 - – Bayang-bayang Kepercayaan

Matahari mulai merangkak naik, menembus sisa kabut yang perlahan menipis. Udara dingin masih menggigit, meski sinar hangat mulai merayap ke permukaan tanah yang lembap. Pos penjaga yang mereka duduki berdiri di tengah hutan lebat, di atas dataran kecil yang sedikit terbuka. Bangunan kayu sederhana itu tampak lusuh, dengan bekas-bekas kebakaran di beberapa bagian. Parit dangkal mengelilingi pos, dengan pagar kayu runcing sebagai perlindungan, meski terlihat rapuh setelah pertempuran sebelumnya. Bau anyir darah masih samar tercium di udara, bercampur dengan aroma tanah basah.

Kaelen berdiri di atas menara pandang, matanya menelusuri pepohonan yang bergerak pelan tertiup angin. Sekilas, hutan tampak tenang. Namun, Kaelen tahu ketenangan itu bisa jadi topeng bagi bahaya yang mengintai. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak semalam terus dipenuhi bayangan Eryon.

Di bawah, Rhal berbicara dengan Balrik di dekat palisade tentang pembaruan jebakan yang dipasang di sekeliling pos. Varrok terlihat melatih beberapa prajurit muda di halaman tengah, suara dentingan pedang saling beradu menggema, berpadu dengan sesekali tawa getir para pejuang yang mencoba melawan ketegangan.

Serina dan Lyra duduk di dekat perapian yang mulai mengecil, menghangatkan tangan mereka di atas api. Asap tipis mengepul perlahan ke udara, menyatu dengan kabut pagi yang belum sepenuhnya hilang. Keduanya tampak berbincang pelan, tetapi sesekali lirikan mereka jatuh ke arah Kaelen.

Kaelen turun perlahan dari menara dan menghampiri mereka. "Apa yang kalian bicarakan?" tanyanya, mencoba menyisipkan nada ringan meski suaranya sedikit berat.

Serina tersenyum kecil. "Kami bertaruh siapa yang lebih keras kepala, kau atau Varrok. Aku memilih kau, Lyra memilih Varrok."

Kaelen tertawa pelan, meski tak sepenuhnya menghilangkan kekhawatiran di hatinya. "Aku rasa aku menang dengan mudah."

Lyra ikut tersenyum. "Kami hanya berusaha menenangkan diri. Semua orang tegang. Kau juga, Kaelen. Kami bisa melihatnya."

Kaelen terdiam sejenak, menatap api yang berkedip lemah. "Aku merasa Eryon semakin dekat. Aku tahu dia di sana... dan dia ingin aku tahu. Tapi dia tidak bergerak. Dia menunggu sesuatu."

Serina menggigit bibir. "Permainan pikiran. Itu yang paling berbahaya. Dia ingin kita saling curiga, saling retak. Kita tak boleh membiarkan itu terjadi."

Kaelen mengangguk. "Aku tahu. Aku hanya... aku takut dia akan terus datang sampai aku... sampai aku kalah."

Lyra menatapnya lekat. "Kau tidak akan kalah. Aku percaya itu. Kami semua percaya."

Saat itu, Rhal datang dengan langkah cepat, wajahnya tegang. "Aku butuh kalian di tenda utama. Sekarang."

Mereka mengikuti Rhal ke tenda besar di tengah pos. Di sana, Varrok dan Balrik sudah menunggu. Di atas meja kayu kasar terbentang peta wilayah sekitar, dengan tanda-tanda merah yang menunjukkan pergerakan musuh.

"Pengintai melihat aktivitas di barat laut," ujar Rhal sambil menunjuk peta. "Mungkin patroli Ordo, mungkin lebih. Kita butuh kepastian. Kaelen, aku ingin kau pimpin tim kecil untuk menyelidiki."

Varrok mengerutkan dahi. "Kita baru saja mendapat waktu bernapas. Mengirim Kaelen keluar sekarang terlalu berisiko. Eryon mungkin menunggu momen ini."

Balrik menimpali tegas, "Kita tak punya pilihan. Kita harus tahu apa yang mereka rencanakan. Jika kita hanya menunggu, mereka yang akan memukul kita lebih dulu."

Kaelen mengangkat tangan, menenangkan perdebatan itu. "Aku akan pergi. Aku harus melihat sendiri. Ini tanggung jawabku."

Serina tampak gelisah, sementara Lyra menghela napas panjang, jelas berat melepas Kaelen.

Rhal mengangguk. "Baik. Pilih empat orang terbaik. Berangkat sebelum matahari tepat di atas kepala. Hindari pertempuran, ini pengintaian."

Visit frёewebnoѵel.ƈo๓ for the b𝘦st novel reading experience.

Setelah pertemuan selesai, Kaelen duduk di luar tenda, memandang hutan yang mulai diterangi mentari pagi. Serina datang, duduk di sampingnya. Mereka terdiam sejenak.

"Kau takut?" tanya Serina lirih.

Kaelen menatap tanah. "Bukan hanya pada musuh. Aku takut kehilangan semua ini. Takut kehilangan kalian. Takut suatu hari aku bangun... dan lupa semuanya. Ibuku, kalian, diriku sendiri. Aku takut menjadi kosong."

Serina meremas tangannya. "Kau tak akan sendirian. Kami di sini untuk mengingatkanmu siapa kau. Jangan lupakan itu."

Kaelen menoleh, tersenyum samar meski matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Serina. Itu yang membuatku bertahan."

Beberapa jam kemudian, Kaelen berdiri di gerbang bersama empat prajurit pilihan—Rhal memilih orang-orang yang dianggap paling cekatan dan dapat dipercaya. Ada Daren, pemanah terbaik mereka; Ilva, pengintai yang tangguh; Joren, seorang prajurit muda yang penuh semangat, namun sering gugup; dan Veyla, perempuan pendiam yang cekatan dengan belatinya. Kaelen menatap mereka satu per satu, memastikan mereka siap.

"Kita bergerak cepat, diam, dan jangan terpancing pertempuran," ucap Kaelen dengan suara tegas. "Jika ada sesuatu yang mencurigakan, beri isyarat. Jangan bertindak sendiri."

Daren mengangguk mantap, sementara Ilva menyelipkan belatinya ke sarung di paha. Joren menghela napas panjang, menenangkan diri, dan Veyla hanya menatap tajam, tanpa sepatah kata. Varrok dan Rhal memberi arahan terakhir. Serina dan Lyra berdiri tak jauh, wajah mereka diliputi kekhawatiran.

Saat Kaelen melangkah ke dalam kegelapan hutan, suara gemerisik dedaunan dan ranting yang patah mengiringi setiap langkah mereka. Udara di bawah naungan pepohonan terasa lebih lembap dan pengap. Di kejauhan, burung-burung sesekali berkicau, tetapi ada sesuatu yang ganjil—terlalu sunyi untuk ukuran hutan ini.

Setelah beberapa saat berjalan, Ilva berbisik pelan, "Berhenti." Semua diam seketika.

Ilva menunjuk ke tanah—jejak sepatu berat, lebih dari sepuluh orang. Tapi di sampingnya, ada bekas cakar panjang di atas tanah berlumpur. Garis-garisnya dalam, tidak seperti jejak binatang biasa.

"Apa ini...?" gumam Joren, suaranya bergetar.

Daren berlutut, menyentuh jejak itu dengan jarinya. "Bukan hewan yang kukenal. Tapi ini... terasa salah."

Kaelen menatap hutan di depan mereka. Kegelapan di antara pepohonan terasa semakin pekat. Bisikan samar kembali mengusik pikirannya. Kali ini bukan hanya kekuatan gelap—ia juga mendengar seperti suara lirih, seperti nyanyian jauh di kejauhan. Suara yang mengundang sekaligus menakutkan.

"Dengar itu?" tanya Veyla pelan.

Semua hening, memperhatikan. Memang ada suara... samar, seperti perempuan yang menyanyikan lagu sedih, terhanyut bersama angin.

Kaelen merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia memberi isyarat untuk melanjutkan, tetapi lebih hati-hati. Mereka bergerak lebih perlahan, menyusuri bayang-bayang di antara pepohonan. Perasaan diawasi tak pernah hilang.

Bisikan kekuatan itu makin kuat di kepalanya. Tapi sekarang, ia tak tahu mana yang lebih nyata—bahaya di dalam pikirannya, atau yang mengintai di sekitar mereka. Bisikan kekuatan hitam—janji kemenangan, kekuatan untuk membalas dendam. Tapi ia tahu harga yang harus dibayar: setiap kali ia menyerah pada kekuatan itu, bagian dari dirinya lenyap.

Ia menggenggam gagang pedangnya erat, mencoba menepis suara itu. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia tahu godaan itu takkan pernah benar-benar pergi.

Dari balik bayang-bayang pepohonan, Eryon mengamati. Senyum tipis terukir di wajahnya. Satu langkah lagi. Kaelen semakin mendekat ke jalur yang ia tentukan.

Kabut pagi akhirnya menghilang sepenuhnya. Namun, bayangan yang lebih gelap perlahan mengintai di kejauhan.