The Shattered Light-Chapter 44: – Bayang-bayang Luka

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 44 - – Bayang-bayang Luka

Kaelen dan timnya tiba di pos saat senja mulai merayap, mewarnai langit dengan semburat jingga yang tampak suram di balik barikade kayu yang mulai lapuk. Pos itu berdiri di tengah hutan lebat dengan parit dangkal mengelilinginya, serta pagar kayu runcing yang mulai menunjukkan tanda-tanda rapuh setelah pertempuran sebelumnya. Udara sore bercampur aroma tanah basah dan sisa darah yang mulai memudar, menciptakan suasana yang pengap dan mencekam.

Para penjaga menyambut mereka dengan tatapan penuh tanya, sementara Varrok dan Rhal segera menghampiri dengan raut wajah tegang. Di kejauhan, suara burung-burung malam mulai terdengar, seakan memberi isyarat bahwa kegelapan segera mengambil alih.

"Bagaimana?" tanya Varrok, suaranya rendah namun penuh tekanan.

Kaelen mengatur napasnya yang masih tersengal. "Ada sesuatu di hutan. Bukan sekadar Ordo Cahaya. Mereka... berubah. Mata merah, darah hitam. Ada nyanyian... sihir yang membuat kami nyaris gila."

Rhal mengerutkan kening, wajahnya menunjukkan rasa bingung bercampur khawatir. "Nyanyian? Seperti apa?"

Ilva menyela, suaranya masih bergetar. "Seperti suara wanita. Samar-samar, tapi menusuk langsung ke kepala kami. Ketika suara itu semakin kuat, mereka menemukan kami. Mereka bukan manusia biasa lagi."

Balrik datang bergabung, mendengarkan dengan raut khawatir. "Kutukan? Atau makhluk lain?"

Daren menambahkan, matanya masih diliputi ketakutan, "Aku melihat darah mereka. Hitam. Bukan darah manusia. Aku... aku tidak tahu apa itu."

Varrok memandang Kaelen lekat-lekat. "Eryon?"

Kaelen mengangguk pelan. "Aku rasa ini memang ulah Eryon. Tapi aku juga merasa... ada sesuatu yang lebih gelap di belakangnya. Kita harus lebih berhati-hati. Mereka jadi makin kuat."

Keheningan meliputi mereka. Serina dan Lyra mendekat, mendengarkan dengan cemas.

"Apa kalian baik-baik saja?" tanya Serina, matanya menyapu Kaelen dan timnya.

Kaelen mengangguk, berusaha menenangkan. "Kami selamat. Tapi ini peringatan. Mereka semakin berbahaya."

This content is taken from freeweɓnovel.cѳm.

Lyra menyilangkan tangan di dada, wajahnya cemas. "Kalau begitu, kita harus lebih bersiap. Kita belum tahu apa lagi yang mereka rencanakan."

Rhal mengetuk meja kayu kasar di tengah-tengah perkemahan, menarik perhatian semua orang. "Kita perkuat penjagaan malam ini. Tak boleh ada yang lengah. Pasang jebakan tambahan. Setiap sudut harus terjaga."

Semua mengangguk. Ketegangan semakin terasa di udara. Angin malam mulai berembus, membawa kabut tipis yang menyusup di sela-sela pohon dan celah pagar kayu.

Kaelen menarik napas panjang, lalu berbicara pelan namun tegas. "Aku tahu kita semua lelah. Aku tahu rasa takut mulai menjalar. Tapi kita tidak bisa mundur. Kita sudah sejauh ini. Kita berdiri bersama, atau kita jatuh satu per satu. Aku butuh kalian. Kita saling membutuhkan."

Suasana menjadi hening sejenak. Varrok menepuk bahu Kaelen dengan hangat. "Kami ada di sisimu. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."

Serina menatap Kaelen dengan hangat. "Kami tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."

Lyra tersenyum kecil. "Aku juga. Kau bukan hanya pemimpin kami, Kaelen. Kau keluarga."

Daren, Ilva, Joren, dan Veyla saling berpandangan, kemudian mengangguk setuju. Rasa persatuan mulai menguat, meski ancaman masih membayang.

Malam menjelang. Api unggun berkobar di tengah pos, menerangi wajah-wajah lelah namun teguh. Pos itu kini tampak lebih suram dengan bayangan kabut yang perlahan turun, seakan membungkus setiap sudutnya. Di kejauhan, suara burung malam berganti dengan suara gemerisik dedaunan yang tak jelas sumbernya.

Kaelen duduk di tepi perapian, menatap nyala api yang menari, mengingatkan pada rumahnya yang terbakar dulu. Bayangan kobaran api itu membawanya pada kenangan lain—saat ia masih kecil, duduk di pangkuan ibunya di malam badai. Ibunya menyanyikan lagu pengantar tidur dengan suara lembut, mengusap rambutnya hingga ia tertidur. Namun kini, wajah ibunya mulai kabur, suaranya memudar, membuat dadanya semakin sesak.

Serina duduk di sebelahnya. "Apa yang kau pikirkan?"

Kaelen tersenyum tipis. "Ibuku. Aku takut aku mulai melupakannya. Aku takut kekuatan ini mengambil semuanya dariku."

Serina menggenggam tangannya. "Kau masih punya kami. Kami akan selalu mengingatkanmu."

Kaelen menatapnya, merasakan kehangatan yang menenangkan di tengah kegelapan.

Suara ranting patah terdengar samar di kejauhan, membuat beberapa penjaga menegakkan tubuh. Varrok menghunus pedangnya perlahan, sementara Rhal memberi isyarat kepada dua prajurit untuk memeriksa.

Di balik pepohonan, Eryon berdiri diam. Senyumnya tipis. Ia tahu benih ketakutan telah tumbuh. Dan malam ini baru permulaan.

Kabut perlahan turun menyelimuti pos lebih tebal. Dua penjaga, Torr dan Falen, berdiri berjaga di sisi barat pos. Mereka berbicara pelan untuk menenangkan diri.

"Kau percaya rumor itu? Tentang makhluk-makhluk bayangan yang dibangkitkan Ordo?" bisik Torr.

Falen menghela napas. "Aku tak tahu... Tapi setelah apa yang diceritakan Kaelen hari ini, aku tak lagi bisa membedakan antara kisah lama dan kenyataan."

Torr menatap ke dalam kabut. "Kadang aku merasa ada yang mengawasi dari sana. Tapi setiap kali kulihat, tak ada apa-apa."

Mereka terdiam, hanya suara desir angin yang menemani. Angin dingin berembus membawa bisikan samar yang hanya didengar oleh mereka yang telah bersentuhan dengan kegelapan. Salah satu penjaga, Torr, tiba-tiba menegang. Di tengah kabut, ia melihat sosok tinggi berdiri diam, bayangannya samar di antara pepohonan. "Siapa di sana?!" serunya pelan.

Falen mendekat, namun begitu mereka berjalan ke arah bayangan itu, sosok tersebut menghilang seolah larut dalam kabut.

"Aku... aku melihatnya, Falen. Aku yakin itu manusia... atau sesuatu," bisik Torr.

Falen menggigit bibir, berusaha menyembunyikan rasa takut. "Kita laporkan ke Rhal nanti. Tetap waspada."

Di sisi lain pos, Lyra berdiri sendirian, menatap ke arah Kaelen yang duduk bersama Serina. Ia memperhatikan keakraban mereka, rasa hangat yang tampak di antara keduanya. Ada kegelisahan di hatinya, perasaan cemburu yang perlahan muncul meski ia mencoba menepisnya.

Tak jauh dari situ, Kaelen berbicara singkat dengan Varrok sebelum beranjak ke tenda. Varrok meletakkan tangan di pundaknya, suaranya berat namun penuh perhatian. "Kaelen, jangan biarkan kekuatan itu mengubahmu. Aku tahu dendammu besar. Tapi jangan biarkan itu mengambil jiwamu. Jika kau butuh seseorang untuk menahanmu, aku akan ada di sana. Kita semua di sini untukmu."

Kaelen mengangguk pelan, merasa beban di hatinya sedikit berkurang. "Terima kasih, Varrok. Aku akan ingat itu." Rasa was-was merayap di dada setiap orang, seakan bayangan kematian mengintai di balik tiap pohon.