The Shattered Light-Chapter 75: – Keputusan Kaelen

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 75 - – Keputusan Kaelen

Kaelen berdiri di tengah aula yang runtuh, dikelilingi oleh energi yang bergejolak. Cahaya merah dari retakan langit-langit semakin menyebar, sementara tangan-tangan bayangan merayap keluar dari celah di lantai. Suara retakan batu bercampur dengan desisan makhluk-makhluk gelap yang baru terbangun dari tidurnya. Makhluk bercahaya dan berbayang di depannya menunggu jawabannya, tatapan tanpa emosi menembus jiwanya.

Udara di sekelilingnya menegang, seakan menunggu keputusan Kaelen. Lyra menahan napas, tangannya mengepal erat. Eryon tampak gelisah, matanya menyipit penuh kecurigaan. Varrok berdiri tegang, kapaknya siap siaga di tangannya.

"Aku akan... membantu mengembalikan keseimbangan."

Begitu kata-kata itu keluar dari bibirnya, gemuruh keras mengguncang aula. Energi di sekitar mereka melonjak liar, dan cahaya merah di langit-langit berkedip seperti detak jantung raksasa yang mulai kehilangan iramanya. Makhluk itu menatap Kaelen lebih dalam, seolah-olah sedang mengukur niatnya.

Lyra terkejut, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Eryon menggertakkan giginya, tampak tidak yakin dengan keputusan itu, sementara Varrok hanya mengawasi dengan waspada. Namun, sesuatu dalam sorot mata mereka menunjukkan bahwa mereka sadar tidak ada jalan untuk mundur.

"Jika itu yang kau pilih," suara makhluk itu bergema, lebih dalam dari sebelumnya, "maka kau harus membuktikan kesetiaanmu pada keseimbangan."

Kaelen merasakan tekanan luar biasa di dadanya. Seolah-olah seluruh kekuatan di ruangan itu menekannya dari segala arah. Tubuhnya tertarik ke depan oleh kekuatan yang tak terlihat, dan tiba-tiba, pikirannya terhempas ke dalam kehampaan.

Ia tidak lagi berada di aula yang runtuh—ia berada dalam ruang tanpa batas, di mana Cahaya dan Kegelapan berputar seperti dua matahari yang bertabrakan. Udara di sekelilingnya bergelombang, membentuk pusaran yang menariknya ke berbagai arah.

Di sekelilingnya, kilasan masa lalu bermunculan. Ia melihat perang yang telah berlangsung selama berabad-abad, melihat orang-orang yang telah jatuh karena konflik yang tak berujung. Ia melihat ayah dan ibunya, terbunuh di depan matanya. Ia melihat Serina, tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum ia menghilang dari ingatannya. Wajah-wajah yang ia lupakan kembali muncul satu per satu, menatapnya dengan ekspresi penuh harapan... atau kesedihan.

Suara makhluk itu bergema dalam benaknya. "Keseimbangan tidak bisa ditegakkan tanpa pengorbanan. Apakah kau siap membayar harganya?"

Kaelen mengepalkan tangannya. "Jika itu yang diperlukan untuk menghentikan perang ini, maka aku siap."

Tiba-tiba, rasa sakit yang menusuk menghantam kepalanya. Ingatan-ingatan masa lalunya berguncang, seakan sedang diurai satu per satu. Ia berusaha bertahan, tetapi semakin ia melawan, semakin banyak potongan dirinya yang terasa hilang. Ia merasakan namanya sendiri mulai terdengar asing di telinganya.

The 𝘮ost uptodat𝑒 novels are pub𝙡ished on freeweɓnovēl.coɱ.

Ia berteriak, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Di dunia nyata, tubuh Kaelen melayang di udara, dikelilingi cahaya dan kegelapan yang saling berputar. Aura di sekelilingnya berkedip-kedip liar, menciptakan semburan energi yang menghempaskan serpihan batu ke segala arah.

"Kaelen!" teriak Lyra, tetapi ia tidak bisa mendekat lebih jauh.

Eryon menghunus pedangnya. "Jika makhluk itu mencoba menghancurkannya, kita harus menghentikannya sekarang!"

"Jangan!" Veylan menahan Eryon. "Ini adalah ujiannya! Jika kita mengganggu, dia mungkin tidak akan kembali."

Mereka semua hanya bisa menyaksikan, menahan napas dalam ketegangan yang semakin mencekam.

Di dalam pikirannya, Kaelen melihat dua jalan terbuka di hadapannya. Satu jalan adalah kehancuran Jantung Kegelapan, menghapus keberadaan makhluk itu dan mengakhiri siklus perang dengan cara yang drastis. Jalan lainnya adalah menerima keseimbangan, membiarkan Cahaya dan Kegelapan tetap ada dan menjaganya agar tidak kembali menjadi alat perang.

Ia menarik napas panjang. Tiba-tiba, bayangan Serina muncul di sampingnya.

"Kaelen," katanya lembut. "Kau sudah cukup berjuang. Tapi ini adalah jalan yang hanya bisa kau pilih."

Kaelen menatapnya, dada terasa sesak oleh beban keputusannya. Jika ia memilih keseimbangan, apa lagi yang akan ia korbankan? Jika ia menghancurkan semuanya, apa yang tersisa dari dunia yang ia perjuangkan?

Matanya menatap ke langit kehampaan di atasnya, ke bayangan orang-orang yang ia cintai, dan ke wajah Serina yang menatapnya dengan penuh keyakinan.

Kaelen menutup matanya, lalu mengangkat kepalanya dengan tekad. Ia telah mengambil keputusan.

Di dunia nyata, cahaya dan kegelapan di sekelilingnya meledak, menghempaskan semua orang ke belakang. Ledakan energi itu mengguncang seluruh aula, memecahkan sisa-sisa reruntuhan yang masih berdiri. Lyra terjatuh ke tanah, menutupi wajahnya dari pancaran cahaya yang menyilaukan. Varrok mengangkat kapaknya, bersiap menghadapi apa pun yang akan terjadi.

Saat debu mengendap, sosok Kaelen turun ke tanah perlahan, dikelilingi aura yang telah berubah. Matanya bersinar dengan cahaya yang bukan hanya Cahaya, dan bukan hanya Kegelapan—tetapi sesuatu yang lebih besar dari keduanya.

Makhluk itu menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia berbicara dengan nada yang bukan hanya gema kosong.

"Kau telah memilih."

Kaelen berdiri tegak, merasakan kekuatan baru mengalir dalam dirinya. Namun, sebelum ia bisa mengatakan lebih lanjut, langit-langit aula terbuka sepenuhnya. Dari dalam retakan yang menganga, sesuatu muncul.

Cahaya dan kegelapan berputar di sekeliling entitas itu, membentuk wujud yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Udara mendadak membeku, dan dari dalam kehampaan, terdengar bisikan ribuan suara yang bercampur—menangis, berteriak, dan tertawa dalam nada yang mengerikan.

Sesuatu yang lebih besar dari Cahaya dan Kegelapan telah bangkit.