The Shattered Light-Chapter 74: – Keputusan yang Mengubah Segalanya

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 74 - – Keputusan yang Mengubah Segalanya

Retakan di langit-langit aula semakin melebar, menyebarkan cahaya merah pekat yang berdenyut seperti jantung yang berdetak kencang. Udara di sekeliling mereka semakin berat, seperti ada sesuatu yang berusaha menarik mereka ke dalam kehampaan yang terbuka di atas sana. Rasa panas dan dingin bercampur dalam gelombang aneh yang menusuk kulit, seolah dunia itu sendiri tidak bisa lagi mempertahankan bentuknya.

Kaelen berdiri tegak, pedangnya masih dalam genggamannya, matanya terpaku pada altar yang kini bergetar hebat. Cahaya dan kegelapan berputar di sekelilingnya, seolah-olah bertarung untuk mempertahankan eksistensi mereka. Suara gemuruh semakin keras, seperti jeritan makhluk-makhluk tak kasat mata yang terperangkap di dalamnya selama berabad-abad.

Lyra meraih lengan Kaelen, suaranya penuh kepanikan. "Kaelen, kita harus keluar dari sini! Tempat ini akan runtuh!"

Eryon, yang masih memegang pedangnya erat, menatap altar dengan ekspresi keras. "Tidak. Kita belum selesai. Ada sesuatu yang terjadi di dalamnya."

Veylan mengamati cahaya merah yang semakin menyebar di langit-langit. "Aku bisa merasakan kekuatan ini... Ini bukan sekadar energi yang terbebas. Ini adalah sesuatu yang telah disegel selama berabad-abad."

Kaelen menarik napas dalam, lalu menatap altar di depannya. "Jika ini adalah segel yang seharusnya tetap terkunci, kenapa sekarang terbuka?"

Sebelum ada yang bisa menjawab, suara lain menggema di seluruh aula. Dalam, bergema, dan membawa rasa dingin yang meresap ke tulang. Sebuah tekanan tak terlihat menekan dada mereka, membuat napas menjadi berat.

"Kalian telah melanggar batas."

Dari dalam altar yang retak, muncul sesosok makhluk yang tampak seperti perpaduan antara bayangan dan cahaya. Sosoknya tinggi, tanpa wajah yang jelas, hanya dua mata menyala yang menatap mereka tanpa emosi. Seiring dengan kehadirannya, retakan di aula semakin melebar, dan dinding-dindingnya tampak seperti mencair ke dalam kehampaan.

Varrok langsung mengangkat kapaknya, bersiap menyerang. "Apa itu?"

Sosok itu melayang mendekat, suaranya bergema di dalam pikiran mereka, bukan hanya di telinga. "Aku adalah keseimbangan yang telah ditinggalkan. Aku adalah penjaga yang dilupakan."

Kaelen mengangkat pedangnya. "Penjaga apa?"

Makhluk itu tidak bergerak, tetapi aura di sekitarnya semakin menekan. "Ketika manusia pertama kali bermain dengan Cahaya dan Kegelapan, mereka menciptakan perang yang tak berujung. Maka, aku diciptakan untuk menjaga keseimbangan. Namun, aku disegel oleh mereka yang takut akan kekuatan sejati."

Lyra menggigit bibirnya, suaranya nyaris berbisik. "Jika kau penjaga keseimbangan... kenapa kau disegel?"

Makhluk itu menoleh ke arahnya, cahaya di matanya berdenyut. "Karena mereka tidak menginginkan keseimbangan. Mereka ingin kekuasaan."

Kaelen merasakan sesuatu mencengkeram dadanya. Apakah ini alasan perang tidak pernah berakhir? Karena keseimbangan yang sebenarnya telah dipenjara selama ini?

Eryon menatap makhluk itu dengan rahang mengatup. "Dan sekarang kau bebas."

Makhluk itu mengangguk perlahan. "Aku bebas. Tapi keseimbangan belum kembali."

Kaelen menyadari bahwa semua mata kini tertuju padanya. Apakah ia harus bertarung melawan makhluk ini? Atau justru bekerja sama dengannya?

Sebelum ia bisa mengambil keputusan, tanah di bawah mereka mulai retak lebih dalam. Aula ini tidak akan bertahan lebih lama. Dari celah yang terbuka, muncul tangan-tangan bayangan yang mencakar lantai, bergerak seperti makhluk kelaparan yang baru terbangun dari tidurnya yang panjang.

Lyra tersentak mundur, matanya dipenuhi ketakutan. "Kaelen... ini bukan hanya tentang kita. Jika keseimbangan terganggu, apa yang akan terjadi pada dunia luar?"

Read 𝓁at𝙚st chapters at ƒrēenovelkiss.com Only.

Veylan berbicara cepat. "Kita harus memutuskan sekarang. Apakah kita akan menghancurkannya, atau membantunya?"

Kaelen mendengar suara-suara lain dalam pikirannya. Suara dari masa lalu—Serina, Master Varrok, bahkan suara Lyra yang dulu meyakinkannya untuk tidak kehilangan dirinya sendiri.

Ia menatap makhluk itu sekali lagi. Pilihan ini akan menentukan segalanya.

Ia menarik napas panjang dan akhirnya berkata, "Aku akan..."