©WebNovelPlus
The Shattered Light-Chapter 79: – Harga Sebuah Pilihan
Chapter 79 - – Harga Sebuah Pilihan
Kaelen menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara yang penuh keteguhan, "Aku memilih untuk tetap menjadi diriku sendiri."
Begitu kata-kata itu terucap, dunia di sekelilingnya bergemuruh. Lantai yang sebelumnya retak kini hancur sepenuhnya, menciptakan jurang tak berdasar di bawahnya. Angin berputar liar, menerbangkan pecahan simbol-simbol bercahaya yang terukir di dinding.
Sosok yang menyerupai dirinya itu tetap berdiri diam, ekspresinya tidak berubah. "Dengan menolak keseimbangan sejati, kau telah memilih penderitaan."
Kaelen menatapnya dengan penuh keyakinan. "Tanpa luka, tanpa kehilangan, aku bukanlah Kaelen Draven. Aku bukan boneka tanpa jiwa yang hanya menjaga keseimbangan tanpa memahami maknanya."
Serina tersenyum kecil, matanya berkilau dengan kebanggaan. "Aku tahu kau akan memilih ini."
Tiba-tiba, sosok di hadapan Kaelen mengangkat tangannya. "Kalau begitu, kau harus membuktikan bahwa pilihanmu benar."
New n𝙤vel chapters are published on novelbuddy.cσ๓.
Kilatan cahaya meledak, dan sebelum Kaelen bisa bereaksi, ia terlempar ke dalam kegelapan.
Saat ia membuka matanya, Kaelen mendapati dirinya berada di tempat yang berbeda. Sebuah medan perang.
Api membakar reruntuhan bangunan di sekelilingnya, langit dipenuhi awan hitam yang berputar cepat. Suara dentingan pedang, teriakan kesakitan, dan derap kaki pasukan terdengar dari segala arah. Udara dipenuhi aroma besi dari darah yang tertumpah, dan tanah yang ia pijak terasa lengket, basah oleh cairan merah yang mengalir tanpa henti. Di depannya, sosok-sosok familiar sedang bertarung—Lyra, Eryon, dan pasukan mereka tengah berjuang mati-matian melawan Ordo Cahaya yang masih tersisa.
Kaelen mengerjapkan mata. Ini bukan sekadar penglihatan. Ini nyata.
Serina muncul di sampingnya, tetapi kali ini, ia tampak seperti dirinya yang dulu—seorang prajurit yang siap bertarung. "Ini adalah ujian terakhirmu, Kaelen. Jika kau tetap memilih jalanmu, maka kau harus berjuang untuknya."
Kaelen menghunus pedangnya dan berlari ke medan perang.
Darah dan debu bercampur di udara saat Kaelen menerobos barisan musuh. Ia melihat Lyra di kejauhan, membidik anak panah dengan presisi, tetapi wajahnya dipenuhi kelelahan dan luka. Eryon bertarung dengan sekuat tenaga, tetapi tekanan dari pasukan Ordo Cahaya terlalu besar.
Seorang ksatria Ordo Cahaya mengayunkan pedangnya ke arah Lyra. Tanpa berpikir, Kaelen melompat dan menangkis serangan itu dengan kekuatan penuh. Dentingan logam menggema, membuat ksatria itu terpental mundur.
Lyra terkejut saat melihatnya. "Kaelen?! Bagaimana kau bisa—"
"Tidak ada waktu untuk menjelaskan," potong Kaelen. "Aku di sini untuk mengakhiri ini."
Eryon berlari mendekat, wajahnya dipenuhi keringat dan debu. "Jika kau punya rencana, cepat katakan. Kita tidak akan bertahan lama."
Kaelen menatap medan perang. Ia tahu bahwa tidak cukup hanya bertarung. Ia harus melakukan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa mengakhiri perang ini selamanya.
Ia melihat ke arah pusat pasukan Ordo Cahaya, tempat Grandmaster mereka berdiri dengan mata penuh kebencian. Grandmaster itu dikelilingi oleh prajurit terbaiknya, menciptakan formasi perlindungan yang hampir mustahil ditembus.
Kaelen mengangkat pedangnya dan berkata dengan suara lantang, "Aku akan menghadapi pemimpin mereka. Jaga pasukan kita."
Lyra tampak ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Berhati-hatilah."
Kaelen berlari menuju pusat pertempuran, siap menghadapi takdirnya.
Di depan altar yang terbakar, Grandmaster Ordo Cahaya menatapnya dengan mata penuh kebencian. Jubah putihnya kini ternoda darah dan debu, tetapi auranya tetap berkilau dengan kekuatan yang menekan.
"Kau seharusnya tidak ada di sini, Kaelen Draven."
Kaelen mengangkat pedangnya. "Aku ada di sini untuk mengakhiri ini."
Grandmaster itu tersenyum dingin. "Kalau begitu, buktikan."
Dengan satu gerakan tangannya, tanah di bawah Kaelen bergetar. Pilar-pilar cahaya muncul dari tanah, membentuk lingkaran rune yang memancarkan energi suci. Kaelen merasakan tekanan luar biasa di sekelilingnya, seolah kekuatan itu ingin menelannya hidup-hidup.
Grandmaster mengangkat pedangnya ke langit. "Aku telah mengabdikan hidupku untuk Cahaya. Kau hanyalah gangguan yang harus disingkirkan."
Kaelen menancapkan kakinya ke tanah, menahan getaran yang mengguncang tubuhnya. Ia tahu, ini bukan sekadar duel biasa. Grandmaster ini memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang ia duga.
"Aku tahu aku tak bisa mengalahkannya dengan kekuatan semata," pikir Kaelen. "Jika aku bisa membuatnya kehilangan keseimbangan, jika aku bisa memancingnya menyerang dengan emosi..."
Kaelen mengayunkan pedangnya ke depan, memicu pertempuran. Pedang mereka bertemu dalam percikan cahaya dan kegelapan, menciptakan gelombang kejut yang menghancurkan altar di belakang mereka. Grandmaster menyerang dengan kecepatan luar biasa, tetapi Kaelen tetap bertahan, menangkis setiap serangan dengan refleks yang tajam.
Namun, Grandmaster tidak memberi celah. Ia bergerak dengan kemarahan yang tak tertahankan, setiap tebasannya membawa kekuatan yang cukup untuk menghancurkan batu.
Tiba-tiba, Grandmaster melompat ke udara dan menghantam tanah dengan ujung pedangnya. Ledakan cahaya meledak dari titik benturan, menciptakan gelombang energi yang menghancurkan segalanya di sekeliling mereka.
Kaelen terlempar ke belakang, tubuhnya menghantam reruntuhan dengan keras. Darah mengalir dari sudut bibirnya, tetapi ia tetap memegang pedangnya erat-erat.
Grandmaster mendekat, sorot matanya penuh kemenangan. "Kau sudah kalah, Kaelen."
Kaelen mengangkat kepalanya, matanya bersinar dengan api yang tak padam. "Aku belum selesai."
Langit di atas mereka mulai retak, seolah dunia itu sendiri menolak akhir dari pertempuran ini.