The Shattered Light-Chapter 80: – Cahaya dan Bayangan Terakhir

If audio player doesn't work, press Reset or reload the page.

Chapter 80 - – Cahaya dan Bayangan Terakhir

Kaelen berdiri di tengah reruntuhan, napasnya berat, tangannya masih erat menggenggam pedangnya yang berlumuran darah dan cahaya yang memudar. Grandmaster Ordo Cahaya masih berdiri di hadapannya, meski dengan tubuh yang kini compang-camping dan penuh luka. Namun, matanya tetap dipenuhi keyakinan yang tak tergoyahkan.

Langit di atas mereka terus retak, memperlihatkan kehampaan yang seolah menunggu untuk menelan dunia ini. Gema pertarungan di medan perang masih terdengar di kejauhan, namun di sini, di titik pusat pertempuran, waktu seolah berhenti.

"Kaelen Draven," Grandmaster akhirnya berbicara dengan suara berat, menggema di seluruh reruntuhan. "Kau telah berjalan jauh, tetapi kau belum memahami segalanya."

Kaelen mengayunkan pedangnya, menyingkirkan darah yang menetes dari ujung bilahnya. "Aku memahami cukup banyak," katanya dengan suara serak. "Bahwa keseimbangan yang kau coba jaga adalah kebohongan. Cahaya yang kau agungkan hanya membakar segalanya."

Grandmaster tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya. Dari retakan di langit, cahaya suci mengalir turun, menyelimuti tubuhnya yang penuh luka. Dalam hitungan detik, lukanya menutup, dan auranya kembali bersinar.

Kaelen menyipitkan mata. "Kau menyerap kekuatan dari retakan itu?"

Grandmaster menundukkan kepala sedikit. "Ini adalah kehendak Cahaya. Jika dunia harus dihancurkan untuk menemukan kedamaian, maka aku akan menjadi alatnya."

The most uptodat𝓮 n𝒐vels are published on freёnovelkiss.com.

Lyra, yang baru saja tiba bersama Eryon di sisi Kaelen, terengah-engah melihat pemandangan itu. "Kaelen, kita harus menghentikannya sebelum dia menjadi sesuatu yang lebih buruk!"

Eryon menghunus pedangnya, matanya membara dengan kebencian. "Tidak ada lagi kata-kata. Hanya satu dari kita yang akan meninggalkan tempat ini hidup-hidup."

Kaelen menarik napas dalam. Ia bisa merasakan pedangnya bergetar di tangannya, seolah ikut bereaksi terhadap kekuatan yang meluap di sekitar mereka. Ini adalah pertarungan terakhir, pertempuran yang akan menentukan apakah dunia ini akan bertahan atau tenggelam dalam kehancuran.

Grandmaster melayang di udara, cahaya mengelilinginya seperti aurora yang berkobar. Kaelen menghunus pedangnya, merasakan energi kegelapan dan cahaya yang masih tersisa dalam dirinya. Ia tahu, jika ia menggunakan semua yang dimilikinya, maka tidak akan ada jalan kembali.

"Lyra, Eryon, mundur," katanya pelan, tetapi tegas.

"Tapi—"

"Sekarang."

Mereka berdua saling bertukar pandang, lalu dengan enggan mundur, memberi Kaelen ruang untuk menghadapi Grandmaster sendirian.

Grandmaster menatapnya dengan penuh kemenangan. "Kau sendirian, Kaelen."

Kaelen tersenyum kecil. "Aku tidak pernah sendirian."

Lalu, ia melompat ke depan.

Serangan pertama mereka menghancurkan tanah di bawah mereka. Dentingan logam dan ledakan energi suci serta bayangan menciptakan gelombang kejut yang merobek sisa-sisa bangunan di sekitar mereka. Kaelen bergerak dengan kecepatan luar biasa, tetapi Grandmaster mengikuti setiap gerakannya dengan presisi mengerikan.

Kaelen meluncurkan tebasan ke arah dada Grandmaster, tetapi pria itu menangkis dengan mudah, memutar tubuh dan menembakkan pancaran cahaya ke arahnya. Kaelen melompat ke samping, tetapi energi itu meledak di belakangnya, melemparkannya ke udara.

Namun, alih-alih terjatuh, ia menggunakan momentumnya untuk berputar dan menyerang dari atas. Grandmaster nyaris tidak sempat menghindar ketika pedang Kaelen menghantam bahunya, menciptakan luka yang bercahaya seolah terbakar dari dalam.

Grandmaster menggeram, tetapi tidak mundur. "Kau terlalu keras kepala, Kaelen."

Kaelen menarik pedangnya, darah bercahaya menetes dari bilahnya. "Dan kau terlalu buta."

Pertarungan terus berlanjut, masing-masing dari mereka melontarkan serangan demi serangan yang mengguncang seluruh medan pertempuran. Setiap benturan menciptakan percikan energi yang membuat langit semakin retak, seolah dunia ini menolak keberadaan mereka.

Namun, Kaelen tahu ia tidak bisa bertahan lebih lama. Kekuatan Grandmaster terus pulih dari cahaya yang ia serap, sementara tubuhnya sendiri mulai terasa berat, luka-luka kecil mulai menumpuk di kulitnya.

Ia butuh akhir.

Ia butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan.

Kaelen berhenti bergerak.

Grandmaster menyipitkan mata. "Menyerah?"

Kaelen menutup matanya. "Tidak."

Ia membuka matanya lagi, dan seketika, sesuatu berubah. Bayangan dan cahaya di tubuhnya mulai berputar, menyatu. Ia tidak lagi hanya menggunakan kekuatan kegelapan atau cahaya, tetapi keduanya sekaligus.

Grandmaster tampak ragu untuk pertama kalinya. "Apa yang kau lakukan?"

Kaelen tersenyum. "Menunjukkan bahwa keseimbangan tidak harus berarti kehancuran."

Ia bergerak, lebih cepat dari sebelumnya. Grandmaster berusaha menangkis, tetapi serangannya kini tidak bisa diprediksi. Setiap gerakan Kaelen tidak hanya mengandalkan satu sisi kekuatan, tetapi kombinasi dari keduanya, menciptakan serangan yang tidak bisa diduga.

Akhirnya, Kaelen melihat celah.

Dalam satu tebasan, ia mengayunkan pedangnya ke arah Grandmaster. Pedang itu menembus dada pria itu, tetapi bukan hanya itu—kekuatan di dalamnya meledak, menghapus cahaya yang ia serap.

Grandmaster terbatuk, matanya melebar. "Tidak mungkin..."

Kaelen menatapnya dengan tenang. "Ini akhirnya."

Dengan dorongan terakhir, ia menarik pedangnya dan mendorong Grandmaster ke belakang. Cahaya yang selama ini menyelimuti tubuhnya mulai menghilang, dan seiring dengan itu, retakan di langit mulai menutup.

Grandmaster jatuh berlutut, menatap tangannya yang bergetar. "Cahaya... meninggalkanku?"

Kaelen mengangguk. "Bukan. Kau hanya tidak pernah benar-benar memahaminya."

Perlahan, tubuh Grandmaster hancur menjadi serpihan cahaya yang terbawa angin. Seiring dengan itu, perang di bawah mereka mulai mereda, pasukan Ordo Cahaya yang tersisa menjatuhkan senjata mereka, seolah-olah mereka akhirnya sadar bahwa pertempuran ini telah berakhir.

Kaelen menurunkan pedangnya, napasnya berat. Lyra dan Eryon berlari menghampirinya.

"Kau berhasil..." Lyra berbisik, matanya berkaca-kaca.

Kaelen mengangguk, tetapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, kakinya melemah. Ia hampir terjatuh, tetapi Lyra menangkapnya sebelum ia menyentuh tanah.

Dunia akhirnya mulai kembali tenang.

Namun, Kaelen tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Ini hanyalah awal dari dunia yang baru.

Saat matahari pertama kali terbit setelah perang, dunia terasa berbeda. Tanah yang dulu hancur kini perlahan kembali pulih. Di kejauhan, seorang anak kecil menatap langit yang cerah—tanda bahwa harapan masih ada.